Jenderal (Purn.) Andika Perkasa tentang Jokowi:
"Kami juga berusaha melihat, oh wajahnya apa, lagi mendung atau enggak. Kalau mendung ya kita jangan macam-macam lah. Kalau wajahnya ceria ya oke."
Hengkangnya Golkar-PAN dihubung-hubungkan dengan dukungan diam-diam Jokowi terhadap pencapresan Prabowo. Keakraban dalam kabinet ditafsirkan sebagai restu yang lain dari Jokowi di luar kapasitasnya sebagai petugas partai yang harus memenangkan Ganjar.
Gejalanya terlihat sejak beberapa gelintir relawan mengklaim bahwa Jokowi memberi isyarat Prabowo maju. Selain itu kubu Prabowo juga memasang banyak poster dengan visual yang menunjukkan kebersamaan dengan Jokowi.
Terkini, Prabowo mengatakan di Gedung Naskah kemarin bahwa ia bersama Ketum Golkar dan PAN adalah  tim Jokowi. Pencatutan ini melengkapi pendekatan Prabowo langsung ke Solo berkali-kali sebelumnya.
Intensitas penarikan figur Jokowi ke dalam framing yang dikehendaki Gerindra kian meningkat seiring usulan penurunan ambang usia capres/cawapres  ke Mahkamah Konstitusi. Posisi syarat 35 tahun dari sebelumnya 40 tahun jelas sekali akan dapat mengakomodir  Gibran --anak Jokowi--  untuk masuk bursa pilpres.
Narasi dukungan Jokowi kemudian masih dilapis lagi isu kerenggangan Jokowi-Mega. Narasi yang jika dihadapkan dengan visual kedekatan Jokowi-Prabowo tentu akan terlihat kontras.
Masak sih begitu? Rasanya kurang masuk akal. Seandainya betul, bagi Jokowi hal itu sama saja dengan bunuh diri partai di depan Ibu Ketum.
Lantas bagaimana sebaiknya duduk perkara diamati?
Untuk dapat memahaminya perlu kita lihat dahulu posisi asal.
Jokowi sebagai pribadi dan petugas partai
Jokowi bagaimanapun adalah presiden berdarah PDIP Â yang telah diusung dan dikampanyekan untuk berkuasa dua periode. Total selama kariernya bersama partai, mantan walikota Solo itu tercatat menang 5 kali tanpa kalah dalam berbagai kompetisi. Tiga pilkada dan 2 pilpres.