Berkaitan dengan hal tersebut, sindiran  Gus Mus untuk dirinya sendiri beberapa tahun silam sangat layak kita renungkan. Bahwa orang yang berpotensi diikuti oleh orang banyak (awam) maka mestilah ia lebih berhati-hati. Â
Adapun andai terjadi juga kata atau kalimat yang buruk itu meluncur ke ruang publik maka permohonan maaf haruslah diapresiasi. Tidak ada manfaatnya memperpanjang urusan yang seharusnya bisa diredam.
Politik masa kini seharusnya lebih condong ke arah gagasan. Setelah kontestasi pesta demokrasi lalu yang banyak menelan korban itu, maka sekarang arah pertarungan mestinya mengarah pada ajakan untuk berpikir mengkritisi. Tak ada alasan untuk mengurung diri dalam pandangan-pandangan yang sempit.
Mungkin masih ada bara yang berkobar di dalam dada bagi sementara orang. Agar semakin tidak berkobar dan membakar sekitar, Â ada baiknya kita tengok lagi perjalanan politik Gus Dur dan Prabowo yang spektakuler. Bukti sahih bahwa tak ada kubu yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan semata.
Soal kepentingan itu yang mestinya kita cermati tanpa memandang kubu atau pihak. Seperti apakah hukum dan peradilan berjalan? Adakah intervensi uang dan kekuasaan yang terlibat untuk menutup-nutupi?Â
Semakin hari semakin banyak kasus besar terungkap. Namun yang masih tersembunyi dan belum kelihatan bisa saja lebih banyak lagi. Itulah yang harus kita kawal terus dengan mengesampingkan pilihan politik yang bersifat sesaat.
Tidak mudah dan memang sulit.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H