Pada tanggal 27 Agustus 1883, Krakatau meletus sangat dahsyat. Ledakan energi  magma dari dasar Selat Sunda menyebabkan munculnya dinding air beserta material lain setinggi 100 m. Gelegar suara disebut terdengar sampai Australia yang berjarak ribuan mil.
Korban jiwa tercatat sekitar 36.000. Namun perkiraan lain mengatakanbahwa  jumlahnya bisa mencapai 100.000-an. Sangat besar jika melihat ukuran populasi di Jawa-Sumatra pada saat itu. Mungkin setara dengan jumlah korban Tsunami Aceh sebanyak 230.000 jiwa pada tahun 2004 lalu.
Tetapi yang membedakan letusan Krakatau 1883 dengan Tsunami Aceh 2004 adalah dampak ikutannya yang berskala global. Akibat erupsi itu mempengaruhi iklim global yaitu terjadinya penurunan suhu global bumi sebesar 1,2 oC. Penurunan itu terjadi karena material seperti debu vulkanik mencapai angkasa dalam jumlah yang sangat massif. Sinar matahari terhalang dan terjadilah penurunan suhu bumi.
Letusan Krakatau saat itu sebenarnya adalah gabungan letusan 3 gunung yaitu: Danan, Perboeatan, dan Rakata. Selain perubahan suhu letusan di kompleks Krakatau itu menyebabkan berubahnya pemandangan langit secara global hingga terlihat di atas Eropa.
Debris atau sisa letusan berupa debu dan gas menyebabkan cahaya matahari terdispersi. Penampakan langit berubah menjadi oranye hingga merah darah yang begitu menakutkan. Saat itu kecepatan transmisi berita tidak secepat seperti sekarang untuk menyampaikan kabar antar-benua. Juga analisis ilmiah mengapa suatu fenomena terjadi seperti warna langit yang memerah darah itu.
Dalam sebuah analisis disebutkan bahwa Edward Munch, seniman Norwegia, adalah sosok yang merekam dahsyatnya letusan Krakatau yang terasa hingga Eropa. Lewat lukisan tahun 1893 berjudul "The Scream" Â ("The Skrik" menurut Bahasa Norwegia, atau "Der Schrei der Natur" Â dalam Bahasa Jerman) ia memperlihatkan seseorang yang berteriak histeris dengan latar belakang langit yang berwarna merah darah di sebuah pantai fjord di Norwegia.
Tentang sumber inspirasi lukisan yang kini tersimpan di Museum Oslo itu, Munch mengatakan bahwa ia menyaksikan langit yang berubah menjadi merah ketika ia sedang berjalan sore bersama dua temannya. Munch merasakan kecemasan dan berdiri gemetar; seperti mendengar jeritan alam yang bergema bersahut-sahutan.
Edward Munch tentang inspirasi The Scream:
"I was walking along the road with two friends -- the sun was setting -- suddenly the sky turned blood red -- I paused, feeling exhausted, and leaned on the fence -- there was blood and tongues of fire above the blue-black fjord and the city -- my friends walked on, and I stood there trembling with anxiety -- and I sensed an infinite scream passing through nature".