Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Taksonomi Hijau, Kunci Pembuka Investasi dalam Ekosistem Keuangan Berkelanjutan

31 Juli 2022   21:15 Diperbarui: 31 Juli 2022   21:22 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Indonesia mengemban amanat Presidensi G20 di tengah kondisi global yang sedang sulit. Pandemi Covid-19 belum usai meski tensinya menurun dibanding tahun lalu. Di sisi lain, masalah perubahan iklim dan transformasi digital juga perlu ditanggapi agar dampak negatifnya bisa diredam.

Berangkat dari realitas tersebut, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa Presidensi G20 saat ini fokus pada 3 isu utama sesuai dengan semangat "Recover Together, Recover Stronger".  Tiga fokus tersebut yaitu:

Ketiga fokus tersebut cukup krusial dalam pemulihan ekonomi dunia saat ini, apalagi ditambah dengan ketegangan Ukraina-Rusia yang masih berlangsung. Perekonomian Indonesia sebagai bagian dari perekonomian global tentu menginginkan agar pemulihan yang terjadi bisa lebih cepat dan stabil.

Menyangkut antisipasi perubahan iklim, Indonesia sudah berupaya aktif melakukan mitigasi dan adaptasi. Berbagai fora internasional yang diikuti telah mengukuhkan Indonesia sebagai salah satu first mover atau penggerak utama praktik pengelolaan keuangan yang berkelanjutan.

Pada tahun 2012 Indonesia ikut merintis pembentukan Sustainable Banking Network (SBN) World Bank. Keikutsertaan ini menjadi langkah awal transisi yang mengubah paradigma ekonomi konvensional berbasis energi fosil menuju ekonomi berkelanjutan berbasis energi terbarukan.

Selanjutnya, pada tahun 2015 Indonesia juga meratifikasi Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu global di kisaran 1,5C dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca. Komitmen kontribusi kita  yaitu sebesar 41% pengurangan emisi karbon dengan bantuan dana internasional; atau 29% jika menggunakan dana mandiri.

Transisi ekonomi yang kompleks di atas memerlukan tata kelola lembaga-lembaga pemerintah, swasta, dan institusi internasional. Proses tersebut memerlukan pembiayaan kurang lebih Rp 67.000 triliun hingga tahun 2030 nanti, yang bisa diperoleh dari APBN, sektor swasta, dana publik, lembaga keuangan internasional, dan investor global. 

Pengelolaan aliran dana dari level investor dan perbankan hingga ke tataran mikro pelaku usaha tentunya harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel.

Karena proses transisi ekonomi ini merupakan hal yang baru, sebuah acuan bersama diperlukan dalam pendefinisian terminologi teknis dan penyusunan kriteria-kriteria. Untuk keperluan itulah Taksonomi Hijau Indonesia disusun agar dapat mempertemukan berbagai sudut pandang atau kepentingan pelaku ekonomi, dan dengan demikian menghindari ambiguitas. 

Jika ada kepastian usaha dengan sendirinya investasi hijau akan lebih mudah diperoleh, apalagi investor global saat ini mulai tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang ini.

Perubahan iklim dan peta jalan transisi ekonomi

Sebagai negara kepulauan, fenomena global warming akan berdampak serius bagi kita. Harapan kenaikan suhu global dalam Kesepakatan Paris yaitu di bawah 2C, sedangkan Laporan UNEP Copenhagen Climate Centre  memperkirakan angka 2,2C sudah cukup baik (UNEP, 2021). Konsekuensi kenaikan permukaan laut akibat mencairnya es di kutub akan mengancam kawasan pesisir dan sejumlah pulau kecil. Hal ini sangat merugikan kehidupan nelayan dan biodiversitas flora dan fauna.

Dalam rangka menjaga suhu bumi dan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca sesuai Paris Agreement, sektor ekonomi perlu mendapat pengawasan. Sifat eksploitatif sektor yang rakus energi ini berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan. Mengalihkan proses ekonomi sebagai business as usual menjadi kegiatan usaha yang berkelanjutan memerlukan perubahan paradigma dan tindakan nyata.

Delapan prinsip keuangan berkelanjutan Indonesia dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan II, OJK (Infografis: Dokpri).
Delapan prinsip keuangan berkelanjutan Indonesia dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan II, OJK (Infografis: Dokpri).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pihak berwenang sudah menyusun peta jalan proses transisi ekonomi dalam bentuk Roadmap Keuangan Berkelanjutan. Ada 8 prinsip yang menjadi kriteria, yaitu:

  • investasi yang bertanggung jawab,
  • pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup,
  • komunikasi yang informatif,
  • pengembangan sektor unggulan,
  • strategi dan praktik bisnis berkelanjutan,
  • tata kelola yang baik,
  • inklusivitas, dan
  • koordinasi dan kolaborasi.

Dalam pelaksanaan peta jalan tahap I (2015-2019), penekanan dilakukan pada proses sosialisasi dan penguatan landasan kebijakan. Berikutnya, tahap II (2021-2025) yang sedang berjalan menekankan pada pembentukan ekosistem ekonomi berkelanjutan dan menjalin kerjasama pihak-pihak yang terkait.

Pelaku ekonomi umumnya merespon positif proses transisi. Namun demikian masih ada sejumlah gap, antara lain menyangkut standardisasi hijau sebagai acuan ramah lingkungan. Kendala ini ditengarai menyebabkan volume pembiayaan hijau (green investment) untuk kegiatan ekonomi berkelanjutan belum memuaskan, padahal potensinya besar.

Perkiraan Bappenas yang dikutip OJK, hingga 2030 Indonesia memerlukan pendanaan Rp 67.803 triliun untuk membiayai sektor ekonomi berkelanjutan. Sebaliknya, hasil penelitian University of California menyebutkan bahwa perubahan iklim yang tidak dimitigasi dengan baik akan menurunkan PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 23%.

Berkaitan dengan hal tersebut, OJK bersama 8 kementerian dan sejumlah lembaga telah menyusun Taksonomi Hijau Indonesia 1.0. Dokumen ini menjadi pedoman definisi dan kriteria hijau untuk kegiatan ekonomi berkelanjutan.

Taxonomi Hijau Indonesia 1.0 sebagai rintisan penting

Penyelenggaraan Presidensi G20 menjadi momentum yang tepat untuk mengakselerasi dan memperkuat ekosistem keuangan berkelanjutan. Kehadiran delegasi negara-negara anggota yang menguasai 85% ekonomi dunia mempermudah komunikasi dan koordinasi untuk membahas berbagai kendala dan mendiskusikan tindakan bersama.

Proses transisi ekonomi dan perubahan iklim global mempengaruhi spektrum pengelolaan dan dampak yang luas. Tak hanya aspek fisik dan ekonomi saja tetapi juga bersinggungan dengan bidang  politik, hukum, dan sosial budaya. Kerja sama yang baik secara inklusif diperlukan agar transisi ekonomi dan mitigasi perubahan iklim dapat berlangsung efektif.

Terkait kebutuhan kerja sama itulah Taksonomi Hijau diperlukan yaitu sebagai pedoman definisi dan kriteria ramah lingkungan. Dokumen ini  --meski belum sempurna--  dapat menjembatani perbedaan-perbedaan yang bersifat teknis maupun persepsi.  

Di sisi lain, proses transisi ekonomi berkelanjutan juga berhadapan dengan berbagai risiko yang harus dikelola oleh pemerintah, pelaku usaha, dan investor. Ada 3 kelompok potensi risiko yang harus ditekan, yaitu menyangkut aspek fisik secara langsung (physical risk), proses peralihan (transition risk), dan aspek hukum (liability risk).  Taksonomi Hijau berperan penting dalam mengendalikan transition risk dan liability risk.

Pengendalian risiko dapat dilakukan lebih mudah karena Taksonomi Hijau juga berperan dalam monitoring serta  pelaporan kegiatan usaha secara berkala.

Pada saat ini ada 8 kementerian dan 43 direktorat jenderal yang berperan sesuai ranah masing-masing. Ada pun jumlah sektor/ subsektor usaha yang sudah dikaji yaitu sebanyak 2.733 dengan tambahan usulan sebanyak 198. Dari jumlah tersebut baru ada 919 sektor yang dapat dipetakan ke dalam klasifikasi Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).

Kategori KBLI dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu sebagai berikut.

  • Hijau    : jika produk atau proses produksi ramah lingkungan; berdampak positif pada lingkungan; atau  memenuhi kriteria- kriteria dalam Taksonomi Hijau.
  • Kuning: jika tidak terlalu membahayakan atau belum memenuhi seluruh kriteria ambang batas yang ditentukan.
  • Merah  : jika ditemukan aktivitas yang membahayakan lingkungan.

Secara praktis dan psikologis pengkategorian itu memudahkan pemerintah untuk memberikan insentif atau disinsentif kepada pelaku usaha sesuai hasil evaluasi. Namun demikian jangan sampai mekanisme ini menghambat atau mematikan kegiatan para pelaku ekonomi skala kecil.

Manfaat lain dari Taksonomi Hijau sebagai sebuah living document yaitu keterbukaan untuk penambahan, pengurangan, dan penyesuaian yang bersifat dinamis. Sebagai sebuah kerangka sistematis, Taksonomi Hijau mampu mengakomodasi perubahan-perubahan sepanjang perjalanannya menuju sistem yang matang dan baku.

Forum Presidensi G20 memungkinkan hal itu untuk memicu dan memediasi pertemuan antar entitas-entitas lokal, nasional, hingga internasional. Tanpa keberadaan sebuah forum yang komprehensif langkah-langkah penyempurnaan Taksonomi Hijau tentu akan lebih sulit.

Taksonomi Hijau pasca-Presidensi G20

Pembicaraan tema transisi ekonomi berkelanjutan dalam Presidensi G20 dipengaruhi oleh informasi yang ada saat ini. Kontinuitas tema tersebut dalam presidensi berikutnya dapat berubah mengikuti dinamika yang terjadi. Demikian pula halnya dengan proses penyempurnaan Taksonomi Hijau Indonesia.

Tujuh komponen ekosistem  dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan II, OJK (Infografis:Dokpri).
Tujuh komponen ekosistem  dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan II, OJK (Infografis:Dokpri).

Untuk mengakomodasi dinamika tersebut, pemerintah telah menentukan 7 komponen ekosistem untuk mempercepat transisi ekonomi berkelanjutan, yaitu:

  • kebijakan,
  • produk,
  • infrastruktur pasar,
  • koordinasi kementerian/lembaga,
  • dukungan non-pemerintah,
  • sumber daya manusia,
  • kepedulian (awareness).

Sebagai sebuah ekosistem terpadu, 7 komponen tersebut selayaknya mampu berfungsi secara sinergis. Jika mengacu pada dokumen Taksonomi Hijau versi rintisan, masih banyak penyempurnaan diperlukan.

Dari segi jumlah,  sektor/subsektor yang bisa dipetakan yaitu sebanyak 919 KBLI dari 2.733 yang sudah dikaji plus 198 usulan baru. Penambahan dan pengurangan serta koreksi masih bisa terjadi. Inovasi-inovasi teknik baru bisa saja mengubah peta kriteria dan kategori aktivitas ekonomi yang ada.

Secara positif hal ini berarti peluang untuk menemukan lebih banyak formula atau temuan produk atau proses yang ramah lingkungan. Tidak berlebihan jika pemerintah dalam hal ini diharapkan memberi stimulus kepada masyarakat agar bisa berkontribusi. Demikian pula dengan peran serta akademisi dan lembaga-lembaga penelitian yang ada.

Taksonomi Hijau yang matang pada masa yang akan datang diharapkan mampu menggerakkan seluruh komponen bangsa dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim; sesuai kapasitas masing-masing.***

Pranala luar:

Presidensi G20 Indonesia

Otoritas Jasa Keuangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun