Kuartal I tahun ini tercatat ada 548 juta transaksi e-commerce dengan nilai mencapai Rp 88 triliun. Data Bank Indonesia yang dikutip kontan.co.id (23/04/ 2021) tersebut artinya ada kenaikan 99% untuk volume transaksi dan 52% kenaikan nominal dari tahun 2020.
Penyebab lonjakan tentu saja dinisbatkan pada kebijakan pembatasan aktivitas masa pandemi. Larangan bepergian dan penutupan tempat kerja memaksa warga tinggal di rumah. Hal itu mendorong warga menekuni sejumlah hobi yang antara lain bernuansa lingkungan. Contohnya yang populer misalnya urban farming, berkebun, beternak, dan bersepeda.
Soal berkah ekonomi dalam jaringan dan maraknya hobi-hobi tadi tentu baik. Namun sedikit pertanyaan menggelitik nalar: bisakah kita membatasi penggunaan kemasan sekali pakai yang tak ramah lingkungan?
Dengan berlangsungnya ratusan juta transaksi per bulan seperti yang disebutkan BI, bisa kita bayangkan bagaimana massifnya penggunaan bahan-bahan tak ramah lingkungan dalam proses pengemasan barang.
Dalam konteks konservasi lingkungan hal itu perlu menjadi perhatian. Akumulasi sampah kemasan bisa mencapai ribuan ton per hari. Tren itu dipastikan akan terus meningkat seiring tuntutan kebutuhan dan dorongan pemerintah mempercepat digitalisasi ekonomi.

Plastik dan polistiren (populer disebut styrofoam, sebuah merk dagang) yang digunakan dalam proses pengemasan adalah material yang memiliki ikatan kimia kuat sehingga sulit terurai. Dalam bentuk cacahan reniknya seperti mikroplastik bahkan menjadi berbahaya karena bisa masuk ke dalam tubuh lewat rantai makanan.
Pilihan pemusnahan dengan pembakaran juga konsekuensinya akan melepas kalor dan karbon yang pada akhirnya memicu kenaikan suhu lingkungan. Kecuali kalau energi panas dikonversi menjadi listrik.
Selain pelepasan energi panas secara langsung, polutan juga menghambat pemantulan balik sinar matahari dari bumi ke ruang angkasa. Kondisi ini dinamakan efek rumah kaca yang berperan mempercepat kenaikan temperatur bumi.
Jika bahan kemasan yang beredar sekarang berpotensi merusak lingkungan, adakah bahan alternatif pengganti yang berfungsi sama?
Dirangkum dari sejumlah sumber, penelitian menunjukkan bahwa beberapa kandidat dapat dipilih sebagai bahan substitusi plastik. Secara umum bahan tersebut memang berasal dari seluruh atau sebagian tubuh organisme, misalnya:
- berbagai jenis serat (bambu, sabut, katun, nanas);
- rumput laut;
- berbagai jenis jamur;
- kanji/ pati;
- protein susu;
- lilin lebah;
- substansi yang dihasilkan mikroorganisme;
- limbah pertanian seperti tongkol jagung, tandan sawit, tebu, jerami;
- limbah buah-buahan;
- hingga bubur kertas daur ulang atau limbah kayu.