Dengan kenyataan tersebut maka petahana akan dipaksa untuk mengkritisi perkembangan kinerja yang ada. Berbagai instruksi dan arahan terkait prokes corona selalu menghadapi resistensi baik di tingkat wacana maupun dalam pelaksanaan di lapangan.
Banyak contoh dapat diambil tetapi garis besarnya cuma dua.
Pertama, ketika kebijakan pelonggaran prokes diterapkan, pemerintah ditekan dengan isu mendewa-dewakan ekonomi dan mengabaikan nyawa. Kedua, saat prokes diperketat maka bentuk serangan berubah menjadi tekanan pada bidang ekonomi. Kesulitan rakyat untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan akan diangkat.
Apakah petahana di ranah politik akan  meniru langkah seperti Singapura yang "berdamai" dengan pandemi?
Pilihan tersebut memang mungkin diambil. Tetapi yang juga harus dicermati adalah konsolidasi dan mekanisme komunikasi yang perlu dioptimalkan. Dari pucuk pimpinan antara Jokowi dengan kabinet, gubernur, dan pejabat setara harus jelas koordinasinya. Dengan rambu-rambu yang jelas maka eksekusi di lapangan dan sistem kontrolnya juga akan jadi mudah.
Soal komunikasi publik sempat disinggung Jokowi saat meminta para pembantunya peka terhadap situasi. Kemudian terkait dengan kebijakan, saat ini yang menjadi masalah penting yaitu rendahnya penyerapan APBD dan dana pandemi. Tersendatnya penyaluran dana akan memukul langsung langkah penanggulangan pandemi sekaligus menyulitkan pemulihan ekonomi.
Perlu ijtihad birokrasi untuk memutus lingkaran setan prosedur yang mengunci aliran kelancaran anggaran. Memang berat, karena jangankan untuk hal yang kompleks begitu; untuk menyelesaikan prosedur vaksinasi saja ribetnya bukan main.
Kelancaran program vaksinasi terjebak prosedur mekanisme fotokopi KTP atau cetak formulir. Di media sempat tersiar kabar ada peserta gagal divaksin karena persoalan fotokopi KTP. Sebelumnya ada pula berita peminat vaksinasi membludak melebihi kapasitas. Hal itu menunjukkan adanya masalah dalam pelaksanaan kerja pemerintah di tingkat lapangan.