Indonesia sedang memasuki fase gelombang kesekian lonjakan kasus corona. Angka positif kasus di atas 50 ribuan. Hari ini lumayan ada penurunan sedikit, dari 56.000 jadi 54.000.
Angka kematian juga bertambah pesat. Termasuk yang tertinggi di dunia.
Pasien positif Covid-19 --atau diduga mengidapnya-- yang meninggal sudah mencapai lebih dari 1000 per hari. Melonjak sekitar 4 kali lipat dari sebelum mudik lebaran. Meski agenda tahunan itu dilarang untuk yang kedua kalinya, tetapi banyak yang nekad pulkam.
Faktornya antara lain karena banyak yang masih tak percaya Covid-19. Ketika penyekatan mudik diberlakukan, ada provokasi untuk menerobos bersama-sama. Petugas kewalahan.
Bukan hanya itu. Klaster corona disumbang dari berbagai  bentuk kerumunan di mana warga tidak mengindahkan protokol kesehatan. Ada klaster hajatan, arisan, hingga sekolah.
Kita tertekan dengan kondisi yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun ini. Tetapi permasalahan tak memberi waktu untuk beristirahat.
Dari Afrika Selatan dikabarkan terjadi kerusuhan yang menewaskan 212 orang. Insiden tersebut terjadi bersamaan dengan sidang kasus korupsi mantan Presiden Jacob Zuma.
Eropa juga dilanda bencana tak terduga. Sejumlah negara terutama Jerman baru saja disapu banjir bandang yang menewaskan lebih dari 100 orang.
Bagaimana dengan kondisi kita di sini?
Kedua bentuk sumber petaka di atas di Indonesia ada semua. Potensi kerusuhan cukup banyak, ancaman bencana alam apalagi.Â
Kita memiliki banyak gunung berapi aktif, lahan-lahan dan hutan yang rusak, juga sejumlah sesar pemicu gempa. Potensi bencana bertambah besar dengan adanya perubahan iklim global. Tanggal 11 Juli terjadi banjir di Aceh Jaya. Kemudian, di sejumlah lokasi di pantai selatan Jawa belum lama ini sempat dilanda gelombang tinggi.