Lalu pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin itu membandingkan dengan salat.
Ibadah harian yang kerap diabaikan orang Islam ini sejatinya adalah momen pertemuan hamba dengan Allah yang begitu Maha Kuasa. Jika bertemu menteri atau presiden saja orang mempersiapkan diri sungguh-sungguh dan bangga meski berjumpa sesaat, maka mestinya salat lebih dari itu.
Begitu mengena bagaimana pendekatan Gus Mus dalam menjelaskan makna bahwa salat itu anugerah yang luar biasa.
Salat adalah momen umat Islam bisa sowan kepada Dzat yang Maha Tinggi yang kemuliannya melebihi kepala negara atau raja-raja. Tak hanya 3 menit lewat prosedur berbelit-belit, salat dapat dilakukan sekurang-kurangnya lima kali sehari. Boleh dilakukan kapan saja, siang atau malam, dan setelahnya kita dapat berdoa mengadukan berbagai persoalan untuk dapat diselesaikan.
Bagi penulis, ini adalah salah satu pengajian Isra Mikraj yang paling berkesan. Jika umumnya peristiwa itu dikenang lewat penggambaran kedahsyatan perjalanan Rasulullah SAW, Gus Mus menceritakan sisi lain salat lewat pengalaman perjalanan seorang manusia biasa. Tak hanya makna salat, Gus Mus juga meneladani kegigihan --bertahan 30 hari-- dan kreativitas imajinasi --mengarang alasan mengisi formulir di Kemenag-- lewat penuturan pengalaman hidup di masa mudanya.
Kisah itu mungkin tak akan memberi pengalaman batin luar biasa jika Gus Mus tidak berjibaku sebulan penuh untuk bertemu dengan menteri walau cuma 3 menit. Namun begitulah salah satu cara Tuhan memberi pemahaman, tidak selalu lewat kisah mukjizat para Nabi dan Rasul-rasul tetapi juga melalui cerita kehidupan seorang manusia biasa.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H