"Orang kita pemenang dua kali. Betul tidak? Lha iyalah. Jangan nanti, "Ibu Mega, saya kira karena PDI sudah banyak kemenangan, sudah di DPR, nanti saya kasih empat ya". Emoh, tidak mau."
Megawati minta jatah menteri untuk PDIP lebih banyak. Permintaan itu disampaikan dalam Kongres V PDIP di Bali. Jokowi  kasih empat tidak mau, masih kurang.
Pada akhirnya ada empat yang dipenuhi, tetapi jika ditambah sekretaris kabinet jumlahnya menjadi lima. Mereka adalah Tjahjo Kumolo (Men PAN-RB), Yasonna Laoly (Menkumham), Juliari Batubara (Mensos), I Gusti Ayu Bintang (Menteri Perempuan dan Anak), dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Sebagai partai pemenang pemilu, baik legislatif maupun eksekutif, permintaan Megawati tentu wajar. Selain berhasil mempertahankan jabatan kepresidenan Jokowi untuk yang kedua kali, jatah kursi di kabinet adalah hak politik yang juga diterima partai-partai pengusung yang lain.
Total ada 16 menteri dari parpol yang jadi tetapi ternyata baru setahun sudah 2 yang ditangkap KPK. Ironisnya kedua menteri yang dibekuk tersebut berasal dari 2 partai utama Pilpres 2019 yang masing-masing juga begitu gencar menyuarakan semangat antikorupsi.
Tangkapan pertama yaitu Menteri KKP Edhy Prabowo dari Gerindra yang segera disusul tangkapan berikutnya Mensos Juliari Batubara dari PDIP.
Mestinya hal itu memalukan bagi partai yang menaungi. Prabowo sebagai Ketum Gerindra melontarkan kecaman sangat keras meski secara tidak langsung yang kemudian disampaikan oleh adiknya, Hashim Djojohadikusumo.
Bagi PDIP juga begitu. Sudah minta jatah lebih tetapi ternyata yang dikirim malah menciderai kepercayaan. Kira-kira apa sanksi yang pantas diberikan sebagai tambahan hukuman.
Kasus tersebut menjadi pertanyaan publik, bagaimana mekanisme uji integritas kader partai petahana dilakukan. Kemudian setelah jadi, apakah tidak ada mekanisme kontrol internal untuk mempertahankan komitmen antikorupsi yang ditetapkan.
Tidak hanya pejabat menteri, sejatinya jabatan lain yang dianggap mewakili partai harus juga diawasi dengan ketat dari dalam. Misalnya, kepala daerah, anggota DPR/ DPRD, dan pejabat BUMN.
Berkaitan dengan menteri kiriman partai yang korupsi maka --jika fair-- pengganti seharusnya dari kalangan profesional/ non-partai. Anggap saja itu sebagai bentuk hukuman karena partai mengirim kader yang bermasalah.