Aksi bela Nabi yang digelar hari ini di beberapa kota menyisakan sejumlah pertanyaan, terutama yang terjadi di Jakarta. Aksi dengan kode 211 itu sendiri ditujukan untuk memprotes kartun Nabi Muhammad SAW oleh Charlie Hebdo dan pernyataan Emmanuel Macron yang dianggap mendiskreditkan Islam.
Untuk membakar emosi peserta demo, Haikal Hassan dalam orasinya menyebut Presiden Perancis Emmanuel Macron dengan sebutan fuc**g president. Massa kemudian diminta menjawab umpatan tersebut oleh dirinya yang berada di atas mobil komando (harianaceh.co.id, 02/11/2020).Â
Selain umpatan yang tidak kompatibel dengan profil ustadz, ada pula lomba lempar sandal yang oleh media disebut unik.Â
Lomba dilakukan dengan cara melempar sandal ke arah target yaitu topeng Macron yang sudah dimodifikasi dengan dua tanduk di kepala dan moncong babi di mulutnya. Tetapi topeng itu tidak dikenakan pada boneka atau digantung pada sesuatu. Topengnya dikenakan di wajah orang asli!
Tidak jelas apa yang disebut unik dalam lomba berhadiah sarung, sorban, dan uang itu.Â
Dalam Islam tidak ada lomba melempar sandal dengan target wajah orang asli, meskipun wajah itu ada di balik secarik topeng (yang tipis). Jika kena dengan telak pasti sakit juga meski menggunakan sandal karet.Â
Dan tentu tentang soal harkat kemanusiaan. Apakah pantas sebentuk wajah dikorbankan jadi target lemparan sandal dalam aksi yang dikatakan bertujuan membela Nabi.
Sangat disayangkan, terutama bagi umat Islam yang mungkin merasa terusik dengan aksi tersebut.
Bukan soal kartun Nabi, atau tentang protes keras terhadap pernyataan Presiden Perancis itu. Namun cara-cara bagaimana protes itu dilakukan yang sulit diterima menurut budaya-budaya kita yang lazim.
Soal umpatan fuc**g president oleh sosok yang disebut ustadz itu saja sudah bukan pada tempatnya.Â
Tuntunan yang sering dipedomani oleh ulama moderat adalah kisah Nabi Musa. Dalam dakwahnya kepada Firaun, Tuhan meminta Musa untuk menyampaikan seruan dengan kata-kata yang lemah lembut dan beradab. Analogi klasik yang sering dikatakan yaitu, kita tidak lebih baik dari Musa dan yang didakwahi juga belum tentu lebih buruk dari Firaun.Â