Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Lomba Melempar Topeng Macron dengan Sandal dalam Aksi Bela Nabi 211

3 November 2020   01:11 Diperbarui: 3 November 2020   02:10 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi bela Nabi yang digelar hari ini di beberapa kota menyisakan sejumlah pertanyaan, terutama yang terjadi di Jakarta. Aksi dengan kode 211 itu sendiri ditujukan untuk memprotes kartun Nabi Muhammad SAW oleh Charlie Hebdo dan pernyataan Emmanuel Macron yang dianggap mendiskreditkan Islam.

Untuk membakar emosi peserta demo, Haikal Hassan dalam orasinya menyebut Presiden Perancis Emmanuel Macron dengan sebutan fuc**g president. Massa kemudian diminta menjawab umpatan tersebut oleh dirinya yang berada di atas mobil komando (harianaceh.co.id, 02/11/2020). 

Selain umpatan yang tidak kompatibel dengan profil ustadz, ada pula lomba lempar sandal yang oleh media disebut unik. 

Lomba dilakukan dengan cara melempar sandal ke arah target yaitu topeng Macron yang sudah dimodifikasi dengan dua tanduk di kepala dan moncong babi di mulutnya. Tetapi topeng itu tidak dikenakan pada boneka atau digantung pada sesuatu. Topengnya dikenakan di wajah orang asli!

Tidak jelas apa yang disebut unik dalam lomba berhadiah sarung, sorban, dan uang itu. 

Dalam Islam tidak ada lomba melempar sandal dengan target wajah orang asli, meskipun wajah itu ada di balik secarik topeng (yang tipis). Jika kena dengan telak pasti sakit juga meski menggunakan sandal karet. 

Dan tentu tentang soal harkat kemanusiaan. Apakah pantas sebentuk wajah dikorbankan jadi target lemparan sandal dalam aksi yang dikatakan bertujuan membela Nabi.

Sangat disayangkan, terutama bagi umat Islam yang mungkin merasa terusik dengan aksi tersebut.

Bukan soal kartun Nabi, atau tentang protes keras terhadap pernyataan Presiden Perancis itu. Namun cara-cara bagaimana protes itu dilakukan yang sulit diterima menurut budaya-budaya kita yang lazim.

Soal umpatan fuc**g president oleh sosok yang disebut ustadz itu saja sudah bukan pada tempatnya. 

Tuntunan yang sering dipedomani oleh ulama moderat adalah kisah Nabi Musa. Dalam dakwahnya kepada Firaun, Tuhan meminta Musa untuk menyampaikan seruan dengan kata-kata yang lemah lembut dan beradab. Analogi klasik yang sering dikatakan yaitu, kita tidak lebih baik dari Musa dan yang didakwahi juga belum tentu lebih buruk dari Firaun. 

Jika umpatan dan caci maki dilontarkan preman atau orang awam mungkin masih dimaklumi. Tetapi ketika hal itu didiktekan oleh seorang yang disebut ustadz kepada umat tentu tidak pada tempatnya. Seharusnya ustadz mendiktekan kalimat toyibah, menuntun seruan --katakanlah-- ucapan takbir yang lebih relevan.

Budaya atau kultur dan konstitusi Perancis bisa saja tidak sepenuhnya dipahami oleh kita. Hal tersebut dapat menyebabkan kita gagal paham tentang apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Kemudian tentang figur Macron sendiri, apakah kita cukup tahu bagaimana sepak terjangnya dalam politik nasional di negeri anggur itu.

Pakar tentang budaya dan negara Perancis, Mahmoud Syaltout, mengatakan bahwa Macron termasuk politisi garis tengah. Ada beragam aliran politik di sana yang membentuk spektrum ideologi yang luas, dari ekstrim kanan, kanan, tengah, kiri, hingga ekstrim kiri. Macron termasuk politisi yang tidak anti-Islam.

Dalam konteks politik di kawasan Eropa, Macron juga diketahui berselisih dengan Erdogan. Faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi bagaimana sulitnya pemosisian secara adil sosok Macron dalam insiden kartun Nabi oleh Charlie Hebdo.

Kebijakan presiden yang tergolong masih muda itu justru cenderung membela muslim di sana dari imbas aksi-aksi intoleran sekelompok muslim garis keras. Syaltout mengatakan bahwa kelompok Islam moderat sendiri merasa gerah dengan pembawaan cara ber-Islam yang radikal, eksklusif, dan berpikiran sempit. Mereka bahkan menemui Macron untuk mengusulkan pembentukan undang-undang yang menolak aksi-aksi intoleran.

Soal Charlie Hebdo sendiri Syaltout yang juga dosen UI tersebut mengatakan bahwa media yang tak bermutu itu hanya mencari sensasi. Warga Perancis yang lain sudah tidak begitu peduli dengan cara-cara Charlie Hebdo mencari perhatian. Tidak hanya sosok Nabi Muhammad yang begitu dicintai  oleh orang Islam; sosok Yesus atau sosok lain dihormati umat beragama lain juga tak luput dari pelecehan mereka.

Mahmud Syaltout (02/11/2020, detik.com):

"Karena itu ketika media ini pertama kali memuat kembali karikatur Nabi, sebetulnya tak ada reaksi dari publik. Reaksi baru muncul sekitar tiga pekan kemudian karena ada yang 'menggoreng'nya." 

Tidak hanya akademisi, sejumlah pandangan kritis telah disampaikan menyikapi insiden di Perancis. Banyak seruan ulama yang mengajak umat Islam untuk melihat ke dalam diri. Serangkaian aksi kekerasan dan intoleransi turut memperburuk citra Islam. Hal-hal seperti itu yang perlu diluruskan melalui diplomasi yang elegan.

Sebagai negara dengan umat Islam mayoritas, sikap resmi pemerintah sebenarnya sudah cukup telak. Presiden Jokowi mengecam keras insiden kekerasan di Perancis dan menyampaikan protes atas pernyataan Macron. Pemanggilan dubes Perancis oleh Kemenlu juga menunjukkan sikap kita yang keberatan dengan cara Perancis mengelola isu.

Suasana lomba lempar topeng Macron dengan sandal (detik.com).
Suasana lomba lempar topeng Macron dengan sandal (detik.com).
Di luar sikap resmi pemerintah, aksi massa yang menuntut Presiden Macron minta maaf atas pernyataannya secara keseluruhan sebenarnya masih wajar. Akan tetapi budaya mengumpat dengan kata-kata kasar oleh ustadz seharusnya tidak dilanjutkan. Tidak baik, dan masih banyak cara yang lebih bermartabat. Masih mending jika yang mengumpat itu preman atau bahkan komika dan artis dalam lirik lagu atau film.

Tentang ide lomba melempar topeng yang dikenakan oleh manusia asli dengan menggunakan sandal; di dalam ajaran Islam tidak dikenal hal yang demikian. Termasuk di dalam literatur budaya lokal Indonesia, belum ada rujukan acara seperti itu. Lomba tersebut jelas merendahkan harkat kemanusiaan,  benar-benar tidak layak tonton dan tidak pantas disebut unik.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun