Jika umpatan dan caci maki dilontarkan preman atau orang awam mungkin masih dimaklumi. Tetapi ketika hal itu didiktekan oleh seorang yang disebut ustadz kepada umat tentu tidak pada tempatnya. Seharusnya ustadz mendiktekan kalimat toyibah, menuntun seruan --katakanlah-- ucapan takbir yang lebih relevan.
Budaya atau kultur dan konstitusi Perancis bisa saja tidak sepenuhnya dipahami oleh kita. Hal tersebut dapat menyebabkan kita gagal paham tentang apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Kemudian tentang figur Macron sendiri, apakah kita cukup tahu bagaimana sepak terjangnya dalam politik nasional di negeri anggur itu.
Pakar tentang budaya dan negara Perancis, Mahmoud Syaltout, mengatakan bahwa Macron termasuk politisi garis tengah. Ada beragam aliran politik di sana yang membentuk spektrum ideologi yang luas, dari ekstrim kanan, kanan, tengah, kiri, hingga ekstrim kiri. Macron termasuk politisi yang tidak anti-Islam.
Dalam konteks politik di kawasan Eropa, Macron juga diketahui berselisih dengan Erdogan. Faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi bagaimana sulitnya pemosisian secara adil sosok Macron dalam insiden kartun Nabi oleh Charlie Hebdo.
Kebijakan presiden yang tergolong masih muda itu justru cenderung membela muslim di sana dari imbas aksi-aksi intoleran sekelompok muslim garis keras. Syaltout mengatakan bahwa kelompok Islam moderat sendiri merasa gerah dengan pembawaan cara ber-Islam yang radikal, eksklusif, dan berpikiran sempit. Mereka bahkan menemui Macron untuk mengusulkan pembentukan undang-undang yang menolak aksi-aksi intoleran.
Soal Charlie Hebdo sendiri Syaltout yang juga dosen UI tersebut mengatakan bahwa media yang tak bermutu itu hanya mencari sensasi. Warga Perancis yang lain sudah tidak begitu peduli dengan cara-cara Charlie Hebdo mencari perhatian. Tidak hanya sosok Nabi Muhammad yang begitu dicintai  oleh orang Islam; sosok Yesus atau sosok lain dihormati umat beragama lain juga tak luput dari pelecehan mereka.
Mahmud Syaltout (02/11/2020, detik.com):
"Karena itu ketika media ini pertama kali memuat kembali karikatur Nabi, sebetulnya tak ada reaksi dari publik. Reaksi baru muncul sekitar tiga pekan kemudian karena ada yang 'menggoreng'nya."Â
Tidak hanya akademisi, sejumlah pandangan kritis telah disampaikan menyikapi insiden di Perancis. Banyak seruan ulama yang mengajak umat Islam untuk melihat ke dalam diri. Serangkaian aksi kekerasan dan intoleransi turut memperburuk citra Islam. Hal-hal seperti itu yang perlu diluruskan melalui diplomasi yang elegan.
Sebagai negara dengan umat Islam mayoritas, sikap resmi pemerintah sebenarnya sudah cukup telak. Presiden Jokowi mengecam keras insiden kekerasan di Perancis dan menyampaikan protes atas pernyataan Macron. Pemanggilan dubes Perancis oleh Kemenlu juga menunjukkan sikap kita yang keberatan dengan cara Perancis mengelola isu.
Tentang ide lomba melempar topeng yang dikenakan oleh manusia asli dengan menggunakan sandal; di dalam ajaran Islam tidak dikenal hal yang demikian. Termasuk di dalam literatur budaya lokal Indonesia, belum ada rujukan acara seperti itu. Lomba tersebut jelas merendahkan harkat kemanusiaan, Â benar-benar tidak layak tonton dan tidak pantas disebut unik.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H