Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tiga Warisan Jenderal Senior Bekal Pilpres Gatot Nurmantyo

28 September 2020   05:41 Diperbarui: 28 September 2020   13:12 3145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak figur militer yang siap maju Pilpres 2024. Dalam perhelatan sebelumnya tahun lalu ada Prabowo dan beberapa sosok lain yang digadang-gadang akan tampil berlaga tetapi akhirnya kandas.

Mayor Agus Yudhoyono sempat di-setting jadi wakil Prabowo tapi gagal. Pasangan sesama militer kurang elok tampaknya. Atau karena AHY kurang modal. Atau bisa juga karena kurang cepat mengambil keputusan deal menebus tiket. Sandiaga Uno yang cepat menebus mahar calon wapres itu. Kabar nilai nominalnya  sampai berkardus-kardus.

Dari kubu  Jokowi  ada Jenderal Moeldoko  yang masuk bursa wakil bersama dua inisial M lainnya. Saat itu publik dibikin penasaran dan menebak-nebak  apakah  Muhaimin Iskandar atau Mahfud MD. Salah semua ternyata.  Kubu Jokowi  ujung-ujungnya memutuskan  Ma'ruf Amin yang menjadi cawapres.

Gatot Nurmantyo sebagai peminat capres potensial,  maunya ada yang maksa-maksa mendukung buat maju plus menyediakan kendaraan politiknya yang siap jalan.

Tapi partai apa yang mau menoleh Gatot selain partai-partai gurem. Yang gede-gede tersedot semua berada di antara  kubu  petahana versus sang penantang lawas, Prabowo. Gatot sadar situasi ini dan lalu mundur teratur.

Namun  setelah pergelaran pemilu selesai, jenderal kelahiran Tegal ini lekas  atur strategi menyongsong  2024 yang sebentar lagi tiba. Ukuran 5 tahun bagi kontestan pilpres itu relatif singkat. Prabowo lebih dari 10 tahun mempersiapkan diri  dan saat ini baru bisa nangkring di kantor Menhan.

Jazilul Fawaiz (kompas.com, 27/09/2020):

“Saya juga husnudzon bahwa Pak Gatot ini juga pengen jadi presiden, ngga ada masalah, karena beliau kan mantan panglima.”

Dengan "terhambatnya" Prabowo menjadi RI-1 berarti figur militer yang berpotensi capres/ cawapres nanti  akan antri menumpuk. Akan tetapi andai pun 2019 kemarin Prabowo menang, hampir pasti dia akan maju lagi untuk berkuasa pada periode kedua. Jadi, anggaplah Prabowo ini calon default dari barak militer.

Kandidat  lain masih pula mengendap-endap menyusun siasat. Kadang lewat pintu depan, kadang lewat dapur.

AHY  semakin diperkuat posisinya dalam partai terutama  berkat pengaruh SBY.  Kalau bukan dinasti Cikeas rasanya mustahil bisa begitu mudah bin mulus jalan politiknya. Tidak ada kandidat terkuat dalam Partai Demokrat sekarang  selain AHY.

Moeldoko masih punya peluang setidaknya untuk posisi wapres. Selain Moeldoko, dari barisan inkumben ada nama baru yang sedang meroket dan berpotensi menyusul masuk bursa, KSAD Jenderal Andika Perkasa.

Bagaimana Gatot menempatkan diri dalam konstelasi  figur-figur serdadu yang nanti bakal saling menikung? Bukankah hingga saat ini mantan panglima masih belum juga berpartai?

Soal partai memang belum, tetapi tidak berarti tidak dipikirkan. Di luar kubu istana dan partai-partai oposan yang  ngebet  merapat ke sana --seperti PAN dan Demokrat--,  ada Berkarya punya Tommy dan PKS yang konsisten tarekat oposisinya.

Tommy memang bermasalah dengan Berkarya-nya karena disabot Muchdi PR. Menjelang   pilpres nanti kalau bisa Berkarya harus kembali dikuasai kubu Cendana. Tak heran kalau  Tommy buru-buru menggugat kepengurusan Muchdi  ke  Menkumham. Gawat kalau lepas; masak harus bikin lagi?

Kawan-kawan Gatot di KAMI sadar pula soal kendaraan politik ini. Capres tanpa partai seperti kusir tanpa delman. Melongo di alun-alun.

Salah satu faktor yang jadi batu sandungan para peminat capres adalah angka PT, presidential threshold. Rizal Ramli yang sedang usaha menggugat ke MK agar PT 20% bisa turun sampai  harganya bisa terjangkau kandidat newbie. Kalau bisa, lebih baik lagi dihapus.

Tommy Soeharto (batik kuning) bersama DPP PKS, 19/11/2019. Partai Berkarya pimpinan Tommy dan PKS saat ini relatif konsisten berada di jalur oposisi (tempo.co).
Tommy Soeharto (batik kuning) bersama DPP PKS, 19/11/2019. Partai Berkarya pimpinan Tommy dan PKS saat ini relatif konsisten berada di jalur oposisi (tempo.co).
Modal politik Gatot Nurmantyo

Lantas apa usaha Gatot sendiri agar bisa tercatat sebagai kontestan pilpres di KPU nanti?

KAMI adalah salah satu ikhtiar sang jenderal. Deklarasi berturut-turut di pelbagai kota merupakan  usahanya  menapaki  jalur  ke arah puncak. Walau pandemi  merajalela tak jadi soal. Pokoknya, hajar terus bleh!

Meski bukan partai tetapi KAMI jelas menggalang massa politis; seperti  FPI, PA 212, atau GNPF. Tampilan casing-nya memang gerakan moral agar lebih fleksibel. Urusan semacam visi misi dan lain-lain bisa disusun sambil jalan, yang penting harus ada aksi nyata. Branding dulu di depan, penjelasan belakangan.

Posisi Gatot pada dasarnya cukup bagus; setidaknya sudah  ada 3 modal pencitraan  yang bisa dikapitalisasi sebagai  trade mark-nya nanti. Ketiga-tiga modal itu berasal dari  warisan jenderal-jenderal senior  yang sudah malang-melintang di dunia persilatan politik tanah air. Belum tentu manjur bagi Gatot tapi sudah terbukti ampuh pada masanya masing-masing.

Modal pertama, mantra anti-komunis warisan jenderal mesem Soeharto.  The smiling general.

Sejak masih panglima, Gatot mencitrakan diri anti-komunis lewat gagasan menghidupkan tradisi  nonton film G30S/PKI setiap akhir September. Yang berani mempertanyakan atau mengkritisi soal ini tinggal dicap: sudah terkontaminasi, atau terindikasi.

Lho, bukankah di Youtube sudah ada dan bisa dilihat kapan saja? 

Memang betul  begitu, tetapi itulah namanya politik.

Tentang PKI ini sudah menjadi  sesuatu banget bagi Soeharto bersama rezim orba-nya dahulu. Berkat citra sukses menumpas  kudeta golongan kiri, Soeharto berhasil  menjadi presiden. Juga berkat asbab legitimasi  katebelece Supersemar yang hingga kini sukar diusut itu. Misterius seperti UFO.

Setelah jadi,  Soeharto terus berusaha mempertahankan kekuasaan periode demi periode hingga mencapai sepertiga abad. Cara yang ditempuh yaitu melalui penerapan asas tunggal Pancasila yang anti-komunis. Tentu menurut versi  tafsirnya sendiri. Bentuk real eksekusinya lewat pelembagaan P4, Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila.  Juga lewat sosialisasi media seni budaya seperti pembuatan film tentang G30S/PKI itu. Hukumnya wajib tonton bagi anak sekolah.

Setelah orde baru bubar, P4 dan nobar film PKI kemudian tidak terlalu ditekankan pemerintah. Gatot melihat peluang ini: revitalisasi wacana ancaman komunisme. Langkah kongkrit yang diambil antara lain mewajibkan (lagi) nobar film penumpasan pemberontak PKI.

Beriringan dengan hal itu merebak  pula aksi-aksi  yang seirama semacam pembakaran bendera atau simbol PKI agar seolah-olah banyak berkeliaran oknum-oknum  komunis. Padahal, bendera dan alat peraganya itu dibikin sendiri dan lalu dibakar sendiri. Urusan bakar-membakar bendera ini ada bagian yang  menangani sendiri.

Tentu saja kita layak menyoal Gatot ihwal kebangkitan komunisme. Katanya benih komunis mulai muncul lagi sejak 2008, lantas apa yang ia lakukan ketika menjadi Panglima TNI?

Betul jika ia mengatakan bahwa hal itu sudah disosialisasikan di kampus-kampus lewat seminar. Juga gagasan nobar film PKI itu. Namun, ceramah hingga berbusa-busa dan nobar film belum menyentuh persoalan mendasar: mengapa jaringan komunis itu tidak dibongkar saja selagi ia punya kuasa? Kalau cuma bicara Novel Bamukmin juga bisa.

Lha, apa hubungannya dengan Novel Bamukmin?

Dalam satu sesi talkshow Mata Najwa pentolan FPI ini ditanya host bagaimana ia mengenali  penganut ideologi komunisme. Novel dengan enteng menjawab bahwa  orang komunis bisa dikenali lewat ciri-ciri yang bisa dilihat mata, contohnya pakai kaos berlogo palu arit. Mendengar jawaban Novel tersebut hadirin wal hadirot ngakak sejadi-jadinya.  


Modal  kedua yang sedang dikapitalisasi Gatot adalah mantra korban penzaliman; playing victim pemecatan.

Sudah terbukti ide zalimisasi ini berhasil pada era SBY yang dipecat Presiden Megawati. SBY  yang dahulu menjadi menkopolhukam sukses mengemas isu pemecatan untuk meraih simpati publik menjelang pilpres.

Hasil akhirnya sungguh mujarab, SBY keluar sebagai pemenang tanpa kesulitan yang berarti. Setelah berkuasa, langkah berikutnya menghadapi pilpres periode kedua semakin enteng. Lawan main sekaligus  mantan bosnya, Megawati,  terpaksa puasa gelar dua musim berturut-turut.

Nasib Gatot mirip dengan SBY, sama-sama pecatan presiden PDIP. SBY ditendang Mega, Gatot didepak Jokowi. Bukan didepak kata Fadli Zon yang kini jadi partner Jokowi  bakda penyematan Bintang Mahaputera. Gatot berhenti karena memang sudah waktunya ngaso, kilahnya.

Namun Gatot  bersikeras mengungkit dan mengangkat kasus pemecatan dirinya sebagai  Panglima TNI. Faktanya, Gatot  di-reshuffle  empat  bulan sebelum  masa pensiun tiba. Menurutnya itu adalah pemecatan.

Soal alasan mengapa mesti dipecat tentu tergantung siapa yang berkepentingan.

Bagi kubu petahana mungkin karena sudah membaca  gelagat politik Gatot yang bermasalah. Bagi pihak Gatot sendiri  --agar nyambung dengan wacana anti-komunis-- sebab pemecatan dinarasikan akibat ngotot agar nobar film PKI jadi agenda tahunan. Setiap September.

Apa pun, yang jelas saat ini Gatot sedang mencoba mengambil keuntungan dari narasi pemecatan dirinya  untuk meraih  simpati seperti SBY dulu. Syukur-syukur orang percaya. Kalau tidak, sekurang-kurangnya Gatot punya wacana  yang bisa disampaikan kepada publik. Kandidat capres tanpa wacana itu ibarat komika di panggung yang lupa cerita. Mau apa coba?

Vaccum of power oposisi

Setelah dua modal politik tadi sekarang kita membahas modal berikutnya. Modal ketiga Gatot Nurmantyo  adalah modal posisi, sebagai oposisi.

Dulu yang  berperan sebagai pusat gravitasi kubu oposan adalah Prabowo dan sekarang sudah jadi bala Jokowi. Otomatis kursi oposisi berada dalam kekosongan yang nyata, vaccum of power. Gatot cerdas mewarisi  peluang ini sebelum yang lain sadar sepenuhnya.

Jenderal-jenderal  kandidat  yang berpotensi  maju pilpres semuanya berkerumun di  istana. Moeldoko masih, dan kini  bertambah Menhan Prabowo. Plus (konon) KSAD Andika Perkasa itu. Mayor Agus AHY pun tidak menutup kemungkinan berminat  merapat ke sana seperti yang disebutkan di muka.

Memang ada kemungkinan Pilpres 2024 memunculkan tiga paslon tergantung bagaimana komposisi partai pengusung nanti. Kubu yang ketiga ini mestinya adalah sempalan dari kubu petahana berdasarkan teori  tidak akan ada pasangan sesama militer dalam pilpres. Bukannya tidak boleh, tetapi peluangnya jelek. Apalagi sesama pasangan militer itu semuanya bermasalah.

AHY bisa membangun kubu penantang, tunggangan politik real sudah ada yaitu Demokrat meski  belum lolos PT 20%.  Akan tetapi untuk untuk memosisikan diri sebagai oposan  tulen bagi AHY jalurnya sungguh terjal; Gatot Nurmantyo  sudah lebih dulu menguasainya. Kalah langkah.

Mengamati manuver Gatot Nurmantyo akhir-akhir ini  sudah bisa ditebak arahnya mau ke mana.

Agak-agak mustahil kalau cuma bilang bahwa deklarasi KAMI adalah gerakan moral saja. Kalau cuma gerakan moral apakah tidak lebih baik jika Gatot berinisiatif menolong korban-korban dampak Covid-19 itu? Uangnya bisa lebih bermanfaat bagi warga yang secara ekonomi sudah sangat terpuruk.

Tambahan pula, dalam kondisi pandemi aksi-aksi pengumpulan massa itu berpotensi menularkan virus corona.

Semakin banyak kasus positif Covid-19 berarti uang negara semakin terhambur sia-sia. Jika kita sudah all out berusaha menangkal tetapi virus tetap bandel itu namanya takdir. Namun, kalau kita ngeyel menantang virus dan berujung banyaknya jatuh  korban sia-sia berarti itu harus ada pengusutan secara hukum. Memangnya uang anggaran Covid-19 itu sumbangan Dimas Kanjeng?

Meskipun bangunan narasi politik Gatot pada konteks tertentu bisa dipahami, tetapi situasinya sangat kontraproduktif jika terus memaksakan diri. Gatot Nurmantyo bisa kehilangan legitimasi moral itu sendiri dan aksi deklarasi lewat pengumpulan massa akan menjadi bumerang.

Pilihan ada pada Gatot Nurmantyo dengan modal dan narasi politiknya itu. Ia bisa memilih memanfaatkan situasi  untuk keuntungan dirinya atau berhenti sementara hingga pandemi reda. Publik dan media terus mengikuti dan memantau.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun