Rizal Ramli urung memenuhi kata-katanya sendiri untuk hadir dalam debat ekonomi melawan Menko Luhut. Ia minta battle dijadwal ulang  yaitu pada tanggal 24 Juni 2020 (kompas.com, 11/ 06/ 2020).
Tetapi, sebaiknya lupakan saja jadwal 24 Juni itu. Tidak ada jaminan RR akan memenuhi pertemuan  tersebut meski ia yang menetapkannya sendiri. Kalau mangkir lagi apa jadwal harus diperpanjang kayak PSBB?
Menko LBP tidak perlu lagi menanggapi permintaan Rizal Ramli yang banyak syarat. Langkah LBP menyerahkan urusan kepada jubir Jodi Mahardi sudah tepat. Banyak pekerjaan yang lebih penting bagi pejabat setingkat menteri. Sementara RR waktunya cukup lapang hingga bisa leluasa eksis di medsos.
Apa yang sesungguhnya dikhawatirkan RR hingga si rajawali ngepret ini terbang meninggalkan gelanggang? Menghadapi Menkeu Sri Mulyani saja pede apalagi "cuma" Menko Luhut.
Dari segi latar belakang pendidikan keduanya jauh terpaut, terkait tema yang akan jadi pembahasan. RR adalah doktor ekonomi dari Boston University, sementara LBP lebih banyak sekolah militer. Ia sempat kuliah di George Washington meraih master, artinya masih setingkat di bawah doktor. Bidangnya pun administrasi publik, bukan ekonomi.
Kalau tendensinya menang-menangan maka amunisi RR mestinya lebih dari cukup untuk mengatasi Luhut. Lantas apa perlunya menunda laga hingga berminggu-minggu? Apa masih perlu latihan?
Andai tak siap pun RR bisa mengarahkan dialektika pembicaraan ke arah dialog yang lebih soft semacam sumbang saran atau diskusi. Sudah barang tentu pihak Luhut sebagai representasi pemerintah tidak akan tampil intimidatif. Risikonya jelas, berkata atau bertindak arogan di panggung yang sedang disorot publik bisa membuat rusak susu sebelanga. Tampil simpatik adalah keniscayaan bagi Luhut walau format pertemuan adalah debat keras sekalipun.
Dalam tulisan sebelumnya penulis sudah menyampaikan bahwa apa pun hasil pembicaraan sejatinya Luhut sudah menang dengan langkah membuka dialog itu. Menang kalah debat bukan persoalan karena toh apa yang dibicarakan bisa diimplementasikan pemerintah jika memang cocok.
Dengan pembatalan sepihak tersebut maka reputasi RR sebagai petarung gagasan menjadi dipertanyakan. Seorang fighter tulen itu harus selalu siap tanding kapan saja di mana saja: siang berani, malam pun oke.
Mangkirnya RR sedikit banyak mengecewakan publik yang ingin melihat bagaimana kebijakan pemerintah diuji dan ditimbang langsung oleh figur yang berkompeten. Para pengukung juga sebaiknya kecewa, karena kalau malah bangga tentu menjadi pertanyaan: RR ini serius apa lagi ngeprank?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H