"Apa yang bisa kita produksi sendiri dan apa yang dari negara lain? Sekarang kelihatan semua. Lalu bagaimana dengan tenaga medis? Rasio dokter, rasio dokter spesialis, perawat apa cukup menghadapi situasi seperti saat ini?"Â Presiden Jokowi, (kompas.com, 30/ 04/ 2020)
Statistik worldometer pandemi corona hari ini sudah mencapai angka 7.000.000. Korban jiwa mencapai angka lebih dari 400.000 jiwa dan Amerika Serikat masih yang tertinggi sebagai negara pemegang peringkat pertama.
Indonesia dalam beberapa catatan (per 08/ 06/ 2020) berada dalam kategori sedang ditinjau dari segi tingkat keparahannya. Virulensi SARS-CoV-2 di negara ini tidak seganas dibanding negara lain.
Harapannya: Agar pada masa mendatang performa kita semakin baik, beberapa catatan berdasarkan data yang ada perlu kita perhatikan karena terkait dengan sistem kesehatan nasional kita.
Kita mulai dari "kabar baik" terlebih dahulu.
Peringkat kita untuk jumlah total kasus positif di posisi 33 dari 213 negara dengan jumlah 31.186 kasus. Di Asia, negara yang catatannya lebih jelek dari kita masih ada Singapura, Uni Emirat, Bangladesh, Qatar, China, Pakistan, Saudi Arabia, Iran dan India.
Dengan total kasus tersebut di atas, kalau dihitung per 1 juta populasi penduduk, peringkat kita sebenarnya cukup melegakan; posisi 160 dengan skor 114/ juta penduduk. Dengan perhitungan per 1 juta juga, jumlah kematian 1.851 jiwa menghasilkan skor pada angka 7 saja.Â
Bandingkan dengan rata-rata dunia yang berada pada angka 52,1 deaths/ 1 million pop. Peringkat kematian akibat corona di Indonesia, proporsional dengan jumlah populasi, berada pada ranking 108 dunia.
Dengan catatan impresif tersebut bolehlah kita bersyukur, negara kita masih disayang Tuhan sehingga tidak mengalami nasib seperti Amerika atau negara-negara Eropa Barat.
Sekarang kita evaluasi catatan buruknya.
Dengan tingkat virulensi virus corona yang relatif jinak itu ternyata persentase kematian yang terjadi cukup besar, hampir 6%. Memang rata-rata global tidak terlalu jauh terpaut dari catatan kita yaitu 5,8%. Kematian tingkat global saat ini mencapai 406.000 jiwa dari sekitar 7 juta kasus.
Masalah yang perlu kita cermati adalah peringkatnya, menyangkut perbandingan relatif dengan negara lain.
Dengan score 6% per total kasus positif corona, kita berada pada ranking 23! Sangat jauh dengan peringkat jumlah kematian per 1 juta populasi yang berada di posisi 108 tadi.
Sebagai bahan tambahan ada baiknya kita periksa juga jumlah uji corona, baik rapid test maupun uji swab dengan PCR.
Total jumlah uji corona yang sudah kita lakukan yaitu 405.992, yang berarti ranking ke 40 dunia. Tetapi, jika dihitung per 1 juta penduduk angka tersebut masih jauh dari harapan. Dengan skor 1.485 tes/ 1 juta penduduk, Indonesia ada di posisi 163 dunia. Sementara Bangladesh sebagai perbandingan berada di peringkat 152, dengan catatan jumlah tes yaitu 2.418/ 1 juta penduduk.
Dari catatan statistik yang disajikan worldometer di atas beberapa kesimpulan dapat kita catat sebagai berikut.
Virulensi dari strain virus SARS-Cov-2 yang ada di Indonesia sebenarnya lebih ringan dibanding negara lain. Atau jika kita balik logikanya, imunitas kita relatif lebih baik untuk menghadapi penyakit Covid-19 ini. Perlu waktu untuk membuktikan secara ilmiah, dari strain jenis apakah virus corona yang merajalela di antara kita.
Angka kasus positif di Indonesia yaitu 114/ juta penduduk berada jauh di bawah rata-rata dunia, 909/ juta penduduk. Jika kita pukul rata berbagai aspek --misal layanan kesehatan, indeks kesejahteraan, kepatuhan protokol PSBB-- posisi 160 dari 213 negara tidaklah buruk-buruk amat.
Namun mengapa tingkat kematian penduduk yang positif corona sangat tinggi? Berada di ranking 23 dari 213. Angka tersebut terlalu tinggi, nyaris berada pada 10% kelompok terburuk.
Belum lagi jika kita menelusuri lebih jauh dengan menghitung jumlah korban tenaga medis (termasuk dokter) yang cukup tinggi. Apakah tingginya kematian nakes itu merupakan bagian dari buruknya sistem kesehatan nasional, atau apakah berkaitan dengan kualitas pendidikan sumber daya manusianya? Pemerintah harus mencari tahu persoalan pokoknya.
Evaluasi dari pemerintah sendiri beberapa waktu lalu perlu kita apresiasi. Catatan buruk di bidang kesehatan adalah akumulasi berbagai sistem lain yang telah berlangsung dalam hitungan dekade.
Semakin meratanya pelayanan kesehatan melalui BPJS ke seluruh lapisan masyarakat adalah langkah maju dibandingkan dahulu yang hanya menjangkau PNS dan TNI saja. Akan tetapi tingginya beban ekonomi pelayanan kesehatan masih perlu ditekan dan kualitasnya dapat ditingkatkan. Satu-satunya jalan adalah lewat efisiensi sistem secara keseluruhan.
"Mohon maaf kalau saya bicara ini, sangat menyedihkan kalau negara sebesar Indonesia ini, 90 persen bahan baku dari luar negeri untuk industri obat. Sama juga alat kesehatan, mayoritas dari luar negeri."Â Menteri BUMN Erick Thohir (kompas.com, 18/ 04/ 2020):
Erick Thohir sebagai Menteri BUMN sudah mengakui bahwa mafia kesehatan di Indonesia menjadi penghambat layanan kesehatan yang berkualitas. Demikian juga dengan Presiden Jokowi yang sudah mengakui kekurangan-kekurangan dalam sistem kesehatan nasional.
Salah satu arahan Jokowi kepada Bappenas adalah permintaan untuk menata ulang sistem kesehatan nasional. Hal tersebut bulan lalu sudah dikemukakan Menteri PPN/ Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam pertemuan konsultasi triwulan-an dengan Bappeda se-Indonesia (kompas.com, 26/ 05/ 2020).
Tentunya sistem kesehatan ini bukan hanya urusan Menteri Kesehatan dan Menteri BUMN plus Bappenas saja. Berkaitan dengan kualitas SDM nakes Menteri Pendidikan Nadiem Makarim perlu juga terlibat.
Ilmu kesehatan saat ini sudah sedemikian maju. Kompleksitas pengetahuan pencegahan, pengobatan, dan perawatan pasien sudah merambah teknologi informasi.Â
Dalam pandemi Covid-19 kita dapat menyaksikan bagaimana Singapura, Korea Selatan, dan China begitu massifnya menggunakan pendekatan IT dalam membendung wabah. Hasilnya dapat kita lihat dalam statistik worldometer tadi.
Meskipun banyak aspek yang menentukan setiap pencapaian tiap negara dalam menghadapi pandemi, tetapi teladan baik harus kita ikuti.
Saat ini mungkin serangan penularan virus agak mereda setelah PSBB berlangsung beberapa bulan. Akan tetapi, ancaman gelombang kedua dan seterusnya bisa terjadi; juga potensi wabah lain di masa-masa mendatang.Â
Selain memastikan masyarakat menjalankan protokol kesehatan secara disiplin, pemerintah juga harus kritis mengevaluasi sistem kesehatan nasional kita.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H