Ibarat empang bobol disapu banjir, hari ini banyak ikan berkeliaran di selokan tak bertuan. Ada gurame, mujaer, lele, dan patin; Â menunggu diserok oleh petani yang cekatan.
Dalam dunia persilatan politik Indonesia sekarang, ikan-ikan itu adalah para pemilih atau simpatisan partai yang tak lolos saringan 4% PT --parliamentary threshold. Atau dari partai-partai yang sedang dilanda perpecahan. Yang tak lolos PT misalnya Partai Berkarya, PBB, PSI, atau Hanura. Yang tengah ribut gono gini konstituen misalnya PKS, PAN, dan barangkali PPP.
Kekuatan PKS sempal sebagian akibat Fahri Hamzah dan Anis Matta tak lagi nyaman di dalam. Saat ini mereka sedang menjaga momentum lahirnya partai Gelora dengan "arah baru"-nya. Â PAN juga sedikit limbung karena ditinggal bapaknya, Amien Rais, yang ingin mendirikan partai baru yang lebih reformis dengan kadar kemurnian seperti emas antam 99,99%.
Siapa bisa jamin partai-partai dadakan itu nanti bisa pentas 2024. Ideologi dan konsep boleh oke, tapi  tanpa fulus semuanya akan menjadi tahu belaka. Renyah di luar tetapi  kosong isinya.
Populasi potensi massa mengambang
Jika dihitung satuan, suara-suara partai yang gagal PT atau sempalan partai besar itu memang terbilang kecil. Tetapi menghitung akumulasinya, politisi manapun akan dibuat geleng-geleng kepala. Hanya politisi polos dan tidak berbakat yang tidak jeli melihat peluang ini.
Jumlah pemilih partai yang tidak lolos PT itu sekitar 13,6 juta; sedangkan jika tiap 1 dari 10 orang PAN dan PKS terbujuk rayuan untuk hengkang dari induknya maka jumlahnya ada sekira 2 juta orang. Total massa mengambang atau floating mass bisa berada di kisaran 15 juta lebih. Belum dihitung efek sangkutan kiri dan kanannya. Belum dihitung massa golput dan potensi pemilih pemula.
Yang cenderung tetap projo misalnya PSI atau Hanura atau Perindo; sedang yang berseberangan misalnya Berkarya dan PBB serta sempalan dari PKS dan PAN. Nah, adakah formula yang mampu memikat dua gerombolan ikan tak bertuan itu?
Mesti ada, asal tahu caranya.
Salah satu formula itu kini sedang dijajal oleh petinggi Gerindra, Fadli Zon. Formula yang barangkali jadi satu-satunya penjelasan mengapa politisi  yang satu ini tetap bersikap kritis pada pemerintahan  Jokowi padahal bossnya sendiri sudah nangkring di istana.