Didi adalah sosok penting yang memperkaya khazanah seni musik tanah air saat ini. Karya-karya buah tangannya adalah  sumber inspirasi  yang terus mengalir. Seperti mata air yang tak pernah kering.
Bagi seniman pemula, para pengamen, band kelas menengah, bahkan artis papan atas sekalipun, lagu-lagu Lord Didi adalah seperti bahan baku dan sekaligus bahan siap saji. Lirik dan iramanya yang sederhana namun enak didengar siap untuk ditafsir ulang, di-cover, diaransemen ulang, atau dilantunkan mentah-mentah apa adanya.
Banyak musisi yang sudah melakukan operasi  trans-genre  dengan menerjemahkan lagu campursari Didi  menjadi berirama ska, reggae, keroncong, pop dan sebagainya. Para youtuber tanah air seolah tak lelah menggali dan itu berarti rezeki.
Dalam tataran gagasan, apa yang dikerjakan Didi juga menjadi bukti bahwa bahasa bukan kendala untuk berkarya menembus sekat lokalitas.  Ia percaya diri untuk  konsisten bermusik menggunakan bahasa daerah dengan risiko pangsa pasar terbatas. Tetapi nyatanya rezeki tak pernah tertukar, kualitas adalah mata uang yang berlaku di mana saja.
Menguasai bahasa internasional sebagai lingua franca memang penting dewasa ini tetapi  bukan berarti  kita harus melupakan  bahasa asli leluhur. Manusia pada umumnya mampu memahami 2-3 bahasa yang berbeda secara bersamaan, bahkan bisa lebih.
Ketika milenial kita tertarik berbahasa Korea gara-gara konsumsi  K-pop dan drakor, maka tantangan kreator  tanah air adalah bagaimana mereka mampu mengangkat  budaya lokal ke pasar global. Didi Kempot sudah merintis jalan itu walau mungkin belum sempurna. Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah bisa menemukan jalan menembus dunia global lewat karya seni dan budaya.
Kalau semua akhirnya berbahasa Inggris atau keminggris, atau kekorea-koreaan, maka nanti kita jadi bangsa apa.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H