Foto sebungkus nasi dengan logo kepala anjing melintas di linimasa twitter akhir pekan lalu. Â Logo yang tertera pada paket bantuan konsumsi untuk warga terdampak corona itu terasa tidak lazim.Â
Gambar lambang partai atau kepala daerah mungkin masih "wajar" meski  sudah masuk area kampanye atau wujud rasa riya. Tetapi kepala anjing?
Dan memang kemudian hal itu menjadi masalah. Tim Tiger Polres Jakarta Utara pun akhirnya turun tangan mempertemukan warga dan Yayasan Qahal Family sebagai donatur pemberi bantuan. Insiden kesalahpahaman yang terjadi di Warakas, Jakarta Utara, itu lalu berakhir dengan kesepahaman dan  permintaan maaf kepada warga (wartaekonomi.com, 27/04/2020).
Menu yang tersaji dalam nasi bungkus sebenarnya adalah menu yang halal bagi umat Islam seperti sosis, cumi, teri, hingga tempe. Pihak kepolisian yang sudah menguji di lab soal kandungan dalam makanan memastikan bahwa tidak ada unsur non-halal dalam paket bantuan nasi bungkus tersebut.
Namun, alasan Qahal Family yang disebut-sebut mengatakan bahwa nasi anjing terinspirasi dari popularitas nasi kucing memang tidak masuk akal. Nasi kucing yang sudah beken selama puluhan tahun hanyalah sebutan guyonan dan  tidak sampai memasang gambar kepala kucing di sampul luarnya. Nasi kucing yang merupakan trade mark pedagang angkringan di malam hari itu tidak lantas bisa dipadankan begitu dengan nasi anjing; baik dari segi nama ataupun porsinya.
Misalnya, ada pasar di Vietnam dan China yang menyajikan berbagai jenis hewan liar sebagai objek kuliner eksotik yang aneh bagi umumnya orang Indonesia. Tapi sebaliknya, ternak sapi yang dagingnya favorit di banyak belahan dunia termasuk Indonesia  justru sangat terlarang di India karena kesakralannya.
Pelajaran untuk berhati-hati soal konsumsi hewan ini sejatinya sudah menjadi salah satu khazanah sejarah Nusantara ratusan tahun yang lalu yaitu kisah para wali.
Satu cerita yang masyhur bagi umat Islam hingga kini adalah larangan Sayyid Ja'far Shaddiq kepada umat Islam di Kudus untuk berkurban sapi.
Ulama yang lazim dikenal dengan panggilan Sunan Kudus itu menganggap bahwa berkurban sapi akan melukai perasaan umat Hindu pada waktu itu, 500 tahun lalu sekitar abad 15 Masehi.  Hewan kerbau sebagai pengganti sapi kemudian jadi  pilihan jalan keluar; umat Islam tetap dapat berkurban tetapi masyarakat Hindu tidak terlukai marwahnya.Â
Meskipun sudah memungkinkan untuk mengakhiri, nyatanya warga Kudus hingga saat ini masih banyak yang menghormati larangan Sunan Kudus tersebut.