Pemerintah punya kemampuan untuk menginstruksikan kepada seluruh jajarannya hingga tingkat RT/ RW agar mengakomodasi pemulasaraan jenazah korban wabah corona. Yang menolak harus punya argumen hukum dan etik, mengapa abai terhadap kewajiban agama dan kemanusiaan itu.
Instruksi itu sederhana saja, bisa lewat komunikasi digital/ elektronik atau tertulis dalam bentuk surat kertas biasa, dikoordinir pemda dan kelurahan. Tidak perlu APD, atau hazmat yang mahal, atau tes kit segala macam. Just do it, semoga tidak ada kendala.
Atau jangan-jangan masalahnya adalah warga ketakutan akibat terlalu banyak nonton urban horor.
Hingga hari ini kita masih disuguhi berita adanya penolakan jenazah korban wabah.
Seminggu lalu, 3 April 2020, viral di Banyumas iring-iringan pengantar jenazah dicaci, diolok-olok, bahkan dilempar batu oleh warga. Bupati Achmad Husein lantas minta maaf dan berharap agar kejadian serupa tidak terulang.
Terbaru di Semarang, 9 April 2020, seorang perawat RSUP Kariadi yang gugur sampai tega hati masyarakat menolak pemakamannya. Ketua RT setempat mengaku tidak berdaya menghadapi desakan warga  (kompas.com, 10/04/2020).
Jangka waktu 6 hari ternyata tidak cukup untuk mengevaluasi proses edukasi warga soal corona. Terlalu pendek mungkin. Tetapi  jika dihitung sejak insiden penolakan karantina WNI asal Wuhan di Natuna 1 Februari lalu, apakah masih tidak cukup juga?
Terkait kasus penolakan pemakaman di Semarang Persatuan Perawat Nasional Indonesia, PPNI, bahkan harus mengagendakan langkah hukum untuk menindak provokator di balik penolakan tersebut.
Mestinya hal itu tidak terjadi. Pemerintah daerah setempatlah yang harus mem-back up petugas medis dan paramedis, ketika hidup (baca: bertugas) dan bahkan ketika mereka harus gugur karena pekerjaan yang mereka lakukan. Menangkap atau mengungkap siapa provokator di balik penolakan itu lebih baik dilakukan oleh pemda dan kepolisian agar tidak memecah fokus tenaga medis kita.
Kejadian penolakan terhadap perawat di masa pandemi Covid-19 sebelumnya terjadi Jakarta. Mereka tidak diizinkan tinggal di hunian yang selama ini mereka tempati karena kekhawatiran ada penularan virus (liputan6.com, 25/03/2020).
Insiden itu kemudian mendapat respon positif, pemerintah di beberapa daerah mengizinkan tenaga medis untuk tinggal di tempat yang lebih representatif. Di Jakarta Pemda DKI menyediakan 4 hotel di bawah BUMD Jaktour. Jawa Barat mengizinkan hotel Grand Preanger Bandung untuk ditempati perawat yang bertugas di RS Hasan Sadikin.