Sebelum Senin tiba sosialisasi pembatasan transportasi sudah disampaikan Pemprov DKI.
Calon penumpang akan ditata posisi berdiri di halte, hingga pengaturan tempat duduk. Tujuannya adalah untuk menjaga jarak aman, mengurangi kemungkinan terjadi penularan virus Corona. Istilahnya disebut "social distancing".
Namun yang terjadi hari ini tidak seperti rencana. Bukannya social distancing, warganet malah menyebutnya social gathering. Penumpukkan massa penumpang di mana-mana untuk menunggu angkutan yang akan membawa ke tempat kerja.
Pengurangan daya angkut penumpang sangat tidak masuk akal.
Dari 248 rute bus Transjakarta  yang beroperasi hanya 13, berarti dipangkas nyaris 95%! MRT yang kapasitas angkutnya 300 berubah jadi secuil, hanya 60 penumpang, atau rabat 80%. Belum pembatasan waktu operasional dan frekuensinya (kompas.com, 15/3/2020).
Alasan pemprov bahwa pegawai dan siswa sudah dirumahkan memang betul, tetapi berapa kontribusi pengurangannya terhadap total pengguna moda transportasi ibu kota?
Lagi pula PNS dan siswa juga banyak yang menggunakan kendaraan pribadi, sehingga tidak terlalu signifikan. Sedangkan pengurangan daya angkut hingga di atas 80% itu sesuatu yang luar biasa.
Jika memang Jakarta mau menciptakan social distancing idealnya pembatasan moda transportasi harus lebih kecil dari pengurangan beban angkutannya.
Jika bangku penumpang dikurangi 1000 maka seharusnya potensi jumlah penumpang harus dikurangi 2000, intinya harus lebih banyak. Baru nanti ada cukup bangku kosong. Pengaturan tempat duduk bisa diterapkan untuk mengurangi kemungkinan penularan virus.
Tetapi yang terjadi adalah kapasitas bangku berkurang 1000 Â tetapi calon penumpang hanya berkurang 200. Akibatnya ya seperti itulah kejadiannya. Social gathering warga Jakarta di jalan raya.
Soal Corona.