Kebebasan bersuara atau mengemukakan pendapat adalah salah satu nikmat Tuhan yang harus  kita syukuri.
Banyak orang yang saat ini bisa berteriak lantang mengkritik, mengecam, bahkan memaki, tapi tidak tahu bagaimana kebebasan itu diperoleh. Semuanya tidak gratis, ada harga yang harus dibeli dan diperjuangkan.
Dahulu sebelum era reformasi, jangankan menggelar unjuk rasa di jalan raya, kebebasan mimbar akademis saja dibelenggu oleh rezim pemerintah lewat kebijakan NKK/ BKK, Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan koordinasi Kemahasiswaan. Kebebasan berpendapat dikekang dan mahasiswa paling maksimal hanya boleh unjuk rasa di balik pagar kampus.
Setelah era orde baru selesai kini semua orang seolah boleh berbicara apa saja. Politik yang dahulu tabu disentuh sekarang sudah seperti udara, kita menghirup wacananya di manapun kita berada. Lewat tayangan televisi atau media sosial yang bekerja 24 jam dan 7 hari dalam seminggu.
Permasalahan yang muncul kemudian, kebebasan dan demokrasi itu ternyata belum membawa kita ke mana-mana; korupsi masih belum tumpas, kualitas hidup juga masih b aja. Biasa. Justru kabar bohong dan sensasi yang sekarang dikejar-kejar. Menggeliat dengan hebat.
Kompasiana adalah bagian dari proses berdemokrasi yang kontribusinya ada. Pasti ada, walaupun soal besaran atau kekuatan pengaruhnya bagi masyarakat dan pengambil kebijakan mungkin belum cukup signifikan.
Pada saat pemilu yang baru saja kita selesaikan tahun ini, Kompasiana memfasilitasi kompasianer pendukung masing-masing capres untuk membuat artikel dukungan secara head to head. Kemudian dalam berbagai wacana (polemik) sebelum dan sesudahnya pun setiap pro dan kontra tetap mendapat ruang yang sama.
Misalnya soal kritikan dan apresiasi terhadap pemerintahan Gubernur DKI Anies Baswedan yang saat ini sedang hangat dibicarakan. Atau masalah Perppu KPK yang sempat menimbulkan gejolak beberapa waktu lalu.
Berbeda dengan menulis status di medsos, membuat artikel (bermutu) di Kompasiana terus terang saja memang tidak mudah. Butuh penyusunan alur sistematis, fakta yang relevan, dan dukungan nalar yang sehat dan masuk akal. Tanpa itu semua artikel hanyalah sekumpulan kata-kata atau huruf yang tidak bermakna.
Tetapi sesusah-susahnya menulis artikel, tampaknya lebih susah lagi menjadi admin Kompasiana. Mengelola keberagaman kepentingan dan pendapat itu jauh lebih sulit.
Tidak hanya berhubungan dengan kompasianer, admin juga tentu harus mempertemukan kepentingan lain yang menyangkut kebijakan internal perusahaan yang menaunginya dan berbagai pihak yang mungkin terdampak oleh publish-nya suatu artikel.