Hal ini tampak mendapat penekanan juga ketika Jokowi meminta para menteri untuk mematuhi koordinasi yang dilakukan menko masing-masing. Tidak ada visi misi menteri, yang ada hanya visi misi presiden.
Soal hak veto Desmond Mahesa menanggapi bahwa kewenangan tersebut harus dibicarakan dengan DPR. Menurutnya presiden tidak bisa begitu saja memberikan hak veto kepada menteri koordinator tanpa berbicara dengan DPR.
Tampaknya Sekretaris Fraksi Gerindra itu lupa, yang sedang dibicarakan Mahfud semangatnya adalah urusan internal eksekutif. Wajar kalau presiden ingin para pembantunya kompak dan tertib.
Di luar keinginan Jokowi untuk menertibkan kerja kabinet, Setara Institute juga ikut mendorong Jokowi untuk membentuk Puslegnas.
Usulan tersebut didasarkan hasil penelitian yang menemukan adanya 32 perda diskriminatif dan intoleran di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat.
Jika Puslegnas dibentuk seperti apakah wujudnya?
Pakar hukum tata negara  Agus Riewanto mengatakan bahwa lembaga tersebut cukup diletakkan di bawah salah satu kementerian.Bisa di bawah Kemenkumham, Kemensesneg, atau Setkab.Â
SDM-nya selain melibatkan 3 kementerian tadi, perlu melibatkan Kemendagri yang memiliki tugas membina pemerintah daerah.
Dalam kesempatan berbeda, Kepala BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) Kemenkumham Prof. Benny Riyanto mengklaim bahwa saat ini proses penyusunan perundang-undangan yang dilakukan pemerintah sudah berjalan dengan benar. Proses tersebut telah melalui kajian akademik melibatkan para ahli dan akademisi dari berbagai fakultas hukum di Indonesia.
Berkaitan dengan rencana pembentukan Puslegnas, Prof. Benny  lebih melihat pada kemungkinan peleburan dua institusi yang berada di dalam Kemenkumham sendiri. Yang pertama BPHN sebagai hulu  dan Ditjen Peraturan Perundang-undangan sebagai hilir dari proses penyusunan RUU pemerintah.
Bagaimana akhir cerita realisasi Puslegnas tersebut, Jokowi belum memberikan isyarat. Perlu jeda sebentar setelah beberapa hari ini kelelahan men-casting dan melantik para pembantunya di kabinet.