Prabowo mengumumkan  susunan kabinet yang akan membantunya dalam pemerintahan jika terpilih menjadi presiden periode 2019-2024. Tidak dijelaskan nama siapa untuk posisi apa dalam daftar yang diumumkan saat  kampanye di Surabaya tersebut. Apakah rancangan ini hasil kajian serius ataukah hanya gimmick kampanye semata, menarik untuk kita simak.
Tanpa kriteria yang jelas nama-nama kandidat diumumkan begitu saja. Beberapa nama besar memang ada dalam daftar itu, walaupun tidak diketahui apakah yang bersangkutan sudah dimintai izin ataukah dicatut tanpa sepengetahuan empunya.
Kompetensi dan kualifikasi sebagian besar calon-calon itu juga kurang atau bahkan tidak dikenal masyarakat. Dari segi frekuensi kemunculan di media (dengan tone positif) bisa dikatakan sangat rendah sekali.
Ada pula beberapa nama mantan menteri Jokowi yang di-reshuffle di tengah jalan tercantum. Tidak heran jika kubu Jokowi-Ma'ruf menamakan daftar menteri Prabowo sebagai barisan sakit hati.
Bagi kalangan pemilih kritis hal ini menjadi pertanyaan besar, mengapa Prabowo memaksakan diri menyebut nama mereka? Padahal survei-survei terbaru  mengatakan, elektabilitasnya semakin menjauh tertinggal dari petahana?
Jawabannya adalah, justru karena sudah tertinggal itulah oposisi merasa harus berbuat sesuatu. Setelah isu adanya kecurangan, hasil survei internal yang metodenya samar-samar; pengumuman daftar menteri menjadi  upaya alternatif  untuk saling menguatkan kepercayaan diri di antara sesama mereka. Terlebih lagi pilpres kali ini serentak waktunya dengan pemilihan anggota legislatif.
Bagaimana mengukur tingkat kepercayaan diri tim Prabowo dalam pilpres tahun ini?
Caranya cukup mudah: googling saja "kecurangan Pilpres 2014" dengan setting waktu di-custom range hingga sebelum hari pencoblosan, 7 Juli 2014. Pada Pilpres 2014 Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Radjasa cukup percaya diri untuk memenangkan kompetisi, saat itu Prabowo-Hatta didukung partai-partai besar. Tuduhan kecurangan yang ditujukan kepada lawan politiknya Jokowi-JK minim atau bahkan tidak ada.
Masalah lain yang sedang dihadapi penantang petahana adalah minimnya figur yang bisa menjadi pendulang suara dari pemilih potensial. Rapuhnya koalisi karena kepentingan yang tidak terakomodasi menyebabkan beberapa kader justru menjadi pendukung Jokowi-Ma'ruf.
Misalnya, Waketum PAN Bara Hasibuan dan  Rama Pratama dari PKS yang mempromosikan Ma'rufnomics. Demokrat juga tampak ogah-ogahan urun kampanye dan bahkan memfasilitasi kadernya yang ingin memilih Jokowi-Ma'ruf lewat politik rel ganda.
Beberapa nama yang lain tercatat masih bermasalah di lembaga peradilan. Ratna Sarumpaet tersandung kasus hoaks penganiayaan dan Ahmad Dhani yang terbelit hukum gara-gara kata makian. Sementara Neno Warisman meskipun tidak bermasalah dengan hukum, tetapi sajaknya yang provokatif menuai sentimen negatif dari umat Islam sendiri.