Meskipun kalah dalam Pilpres, Kongsi  PDIP-Gerindra kemudian berlanjut mengusung Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI 2012. Sukses besar, pasangan Jokowi-Ahok berhasil melenggang ke balai kota setelah menyisihkan 5 pasangan kandidat lain, termasuk petahana Fauzi Bowo.
Prabowo yang sudah ngebet bertahun-tahun menahan hasrat berkuasa harus menghadapi kenyataan pahit.
Jokowi yang dijemputnya dari Surakarta ke ibukota ternyata berhasil meraup simpati warga dan  diwacanakan publik untuk maju pilpres.Â
Bagi Megawati tentu sangat dilematis, apakah mengambil kesempatan menunggangi kuatnya dukungan publik agar Jokowi nyapres, ataukah meneruskan skenario awal, membantu Prabowo menapaki tangga istana.Â
Sejarah berbicara, Ketum PDIP akhirnya memilih untuk mengusung petugas partainya sendiri daripada meneruskan persekutuan dengan Gerindra.
Sekarang giliran Prabowo yang muntab luar biasa menahan amarah. Jelas ada modus penikungan kawan seiring, batin penggemar kuda mahal ini.
Bagaimana kemarahan Prabowo dapat tergambarkan dengan baik saat periode kampanye pilpres waktu itu, bahkan hingga Pilgub DKI 2017 kemarin ketika PDIP mendukung Ahok, si anak hilang bagi partai Gerindra.
Serangkaian fitnah dan tuduhan keji, baik terhadap Jokowi maupun PDIP secara umum, dilancarkan beruntun terus menerus tanpa henti. Bahkan untuk mendukung konteks narasi kampanye negatif  tersebut Gerindra tidak segan melirik kelompok Islam garis keras yang buta politik.
Bagaimana mungkin mereka menuding kubu  PDIP pro komunis, sedang Prabowo sendiri dahulu mantan cawapres Mega? Hanya kelompok a-historis politik yang mampu berbuat demikian.
PDIP dan Gerindra adalah partai nasionalis