Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

LTE dan Nasib Pendidikan Nasional di Era 4G

28 Desember 2010   22:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:17 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1293575978172462122

LTE, Long Term Evolution, adalah teknologi komunikasi terbaru yang lebih sigap dan cekatan dalam melayani pengiriman data menggunakan jaringan tanpa kabel (wireless). Bersama dengan WiMAX, Worldwide Interoperability for Microwave Access, LTE sekarang sudah resmi menjadi teknologi komunikasi generasi ke-4 (4G). Perkembangan dari generasi pendahulunya yaitu antara lain dari mulai AMPS (1G), GSM/CDMA (2G), dan alurnya kemudian bercabang, GSM dan CDMA yang masing-masing berkembang sendiri. Untuk GSM kelanjutannya antara lain yaitu :

  • GPRS (2.5G),
  • EDGE (3G),
  • HSDPA (3.5G),
  • HSPA+ (3.9G),
  • LTE (4G).

Sedangkan untuk CDMA kelanjutannya yaitu:

  • CDMA 2000 1X EVDO Release 0 dan Rev A (3G),
  • CDMA 2000 1X EVDO Rev B, dan EVDO Multicarrier (4G),
  • DO Advanced,  yang kompatibel dengan LTE Advanced.

Dari kedua alur perkembangan teknologi GSM dan CDMA, kita dapat melihat muaranya di teknologi LTE. Kabar terakhir dari LTE di Indonesia berasal dari XL, operator yang telah menggelar uji coba teknologi ini bersama Ericsson awal pekan lalu, Senin, 21 Desember 2010. Dalam uji coba tersebut, penyelenggara mengadakan telekonferensi dan siaran TV secara langsung (live report) dengan menggunakan teknologi berbasis LTE. Kegiatan telekonferensi yang dilakukan dalam demo dapat dilakukan tanpa putus, dan mengunduh data sebesar 300 Mb dapat dilakukan hanya dalam waktu 66 detik saja. Pada kesempatan lain sebelumnya, Ericsson bahkan mengklaim, teknologi 4G yang dibawanya memungkinkan penggunaan berbagai aplikasi berbasis internet tanpa jeda waktu. Streaming video, jurnalisme warga, game online, hingga menonton berita dapat dilakukan secara bersamaan tanpa kesulitan. Secara sederhana, teknologi LTE memungkinkan pengguna untuk mengakses komunikasi data berkapasitas besar, baik mengunduh (download) maupun mengunggah (upload), dengan kecepatan yang sangat tinggi. Industri Konten Edukatif Merangkak Seperti Kura-Kura Bertolak belakang dengan kemajuan teknologinya yang berlari secepat kijang, perkembangan industri konten media internet dan konten seluler yang edukatif sangatlah lambat, merangkak seperti kura-kura. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia lebih sering digunakan untuk mengabdi pada industri hiburan. Padahal, mengingat biaya investasinya yang mahal, seharusnya teknologi tersebut dapat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup, seperti untuk kegiatan pembelajaran atau pendidikan. Saat ini, sudah jamak bila pelajar sekolah memiliki ponsel (telepon seluler) canggih berkamera 5 Megapiksel atau lebih, namun kegunaannya hanya sebatas untuk koleksi foto narsis, mp3, bermain game, chatting, atau bertukar jawaban saat ulangan. Jarang yang menggunakan ponsel untuk membantu kegiatan pembelajaran dalam arti yang sesungguhnya. Akibatnya, dalam jangka panjang kita terjebak hanya menjadi user abadi yang menjadi hamba gadget. Levelnya tidak beranjak ke level engineer, seperti Jepang, Korea Selatan, atau Cina, yang dapat berdiri setara dengan negara-negara Amerika Utara atau Eropa Barat. Selain merancang teknologi telekomunikasi di masa depan, kita juga harus merencanakan agar fungsinya dapat pula meningkatkan daya saing kolektif bangsa kita di tingkat internasional. Mengantisipasi kemajuan teknologi komunikasi di masa depan, sudah saatnya kita persiapkan kondisi sejak sekarang agar anugerah kemajuan tersebut dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia, terutama siswa lulusan sekolah yang akan terjun di dunia kerja. Pemerintah melalui DEPDIKNAS dan DEPKOMINFO dapat memberikan insentif kepada guru atau sekolah untuk membuat dan mengembangkan situs-situs berisi konten pendidikan. Materi-materi tertentu perlu mendapat perhatian khusus yaitu pelajaran logika (matematika), keterampilan (Teknologi Informasi dan Komunikasi, TIK), dan komunikasi (bahasa Inggris), yang  sangat penting sebagai alat pembelajaran di era informasi secara global. Situs-situs web tersebut harus dirancang sebagai media interaksi belajar berskala nasional atau global. Isinya tidak hanya buku pelajaran atau buku pengayaan dalam bentuk digital, tetapi juga telekonferensi kegiatan belajar mengajar (KBM) yang disiarkan secara online dan didokumentasikan agar dapat diakses kapan saja bahkan melalui telepon seluler. Mungkin juga pemerintah dapat membeli hak cipta program-program pendidikan dari stasiun-stasiun televisi selama ini dan menyajikannya untuk masyarakat melalui situs-situs tersebut. Jika saat ini kita dapat belajar jarak jauh secara online di universitas-universitas luar negeri, kenapa tidak siswa-siswa dari Papua atau Nusa Tenggara ikut belajar di sekolah-sekolah favorit di Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta (kenyataannya, di tiga kota tersebut fasilitas pendidikan bermutu belum tentu merata juga). Kemudahan itu juga bertambah dengan selesainya proyek Palapa Ring yang memungkinkan Kawasan Timur Indonesia menikmati jaringan akses komunikasi berkecapatan tinggi dalam waktu dekat.

[caption id="attachment_80673" align="aligncenter" width="431" caption="Peta proyek Palapa Ring di Kawasan Timur Indonesia (http://soft-brain.blogspot.com)"][/caption]

Fortifikasi Pendidikan Masih menyangkut perkembangan komunikasi seluler dan pendidikan kita, penulis teringat sebuah metode untuk meningkatkan gizi masyarakat yaitu melalui program fortifikasi pangan. Apabila mengakses konten situs pendidikan masih ada unsur pengeluaran biaya yaitu biaya koneksi, melalui program fortifikasi pendidikan, siswa dapat belajar melalui ponsel tanpa biaya sama sekali (kecuali buat beli ponselnya, tentu). Fortifikasi pangan adalah suatu program penambahan gizi mikro tertentu seperti yodium, vitamin A, dan zat besi, ke dalam bahan makanan seperti garam, terigu, minyak goreng, atau gula. Tujuan fortifikasi pangan adalah menambah gizi masyarakat secara otomatis melalui penyisipan ke dalam makanan harian yang umum dikonsumsi (common food). Ada kesamaan antara fortifikasi pangan dengan fortifikasi pendidikan dari segi prinsipnya yaitu bagaimana mengatasi suatu kekurangan (deficiency) denganmenambahkan apa yang kurang tersebut ke dalam suatu kegiatan yang umum dilakukan sehingga dapat berlangsung tanpa terasa. Bedanya, jika yang satu untuk memenuhi kebutuhan jasmani yaitu makanan; yang lain untuk memenuhi kebutuhan mental atau rohani yaitu ilmu. Yang satu menggunakan common food yaitu garam, gula, terigu, dan minyak goreng; yang lain menggunakan common gadget yaitu telepon seluler. Caranya, yang pertama bekerjasama dengan vendor dan operator telekomunikasi untuk memasarkan ponsel paketan (bundling) yang berisi materi pelajaran digital yang dapat dibaca di layar ponsel. Cara ini sudah lazim dilakukan, misalnya pada saat bulan Ramadhan, ada produsen yang memasarkan paket ponsel yang dilengkapi Quran digital khusus buat konsumen muslim. Bahkan sejak jaman ponsel  hitam putih, fitur permainan sudah dipaketkan dalam ponsel dan jumlahnya sering lebih dari satu. Dengan cara ini siswa sewaktu-waktu ketika bermain dapat pula "iseng" membaca pelajaran, lebih baik daripada chatting yang sering 'gak penting isinya atau main game. Cara lain yaitu, pemerintah bekerja sama dengan penyedia jasa konten  dan operator telekomunikasi untuk menyediakan konten SMS berlangganan secara gratis. Materinya berisi materi pelajaran yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang diikuti oleh penggunanya, yaitu pemilik ponsel. Selama ini konten SMS  berlangganan dinilai kurang edukatif dan lebih cenderung menguras isi kantong. YLKI, Yayasan LembagaKonsumen Indonesia,  mengeluhkan kondisi ini dan berharap agar pemerintah mengambil tindakan nyata. Namun dari gagasan program fortifikasi pendidikan di atas perlu dipikirkan pula agar tidak menambah masalah lain, misalnya peningkatan jumlah kecurangan saat ujian semester. Dalam hal ini tentu pihak sekolah tidak perlu kehilangan akal untuk mengatasinya. Sumber: tekno.kompas.com tekno.kompas.com xl.co.id us.detikinet.com detikinet.com nasional.kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun