[caption id="attachment_73257" align="aligncenter" width="282" caption="kambing impor dari http://img211.imageshack.us"][/caption] Pencapaian prestasi Kompasiana hingga saat ini patut memperoleh apresiasi yang sepantasnya dari kita sebagai warga. Tercatat di Alexa.com, Kompasiana mampu menembus ranking 7.968 untuk peringkat global ketika diumumkan oleh Kang Pepih 5 Agustus lalu. Saat tulisan ini diketik, peringkatnya telah naik ke angka 5.789! Mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama rankingnya sudah 3 digit saja, ke angka ratusan. Penghargaan yang telah diperoleh Kompasiana juga tidak kalah gengsi. Majalah Marketeers menganugerahi gelar Marketeers Netizen Champion, 27 Oktober 2010, masuk hitungan sebagai 12 besar blog penggerak netizen yang paling berpengaruh di Indonesia. Dalam ajang Pesta Blogger tiga hari berikutnya, Kompasiana juga menyabet gelar Blog Citizen Journalism Terbaik. Tak lama kemudian, belum genap satu bulan, blog publik dengan 3 juta pengunjung unik tiap bulannya ini lanjut melenggang ke level Asia. Kali ini yang melirik adalah WAN-IFRA, menganugerahi Kompasiana dengan Digital Media Award 2010 untuk kategori user generating content, juara ketiga setelah Stomp.com, Singapura, dan OKnation.net, Thailand. WAN-IFRA adalah sebuah organisasi gabungan antara Asosiasi Surat Kabar Dunia dengan IFRA, organisasi penelitian dan jasa untuk penerbitan berita. Berbagai prestasi tidak lantas membuat pengelola, kru, dan tentu kita juga, berpuas diri atau "sugema". Pekerjaan merenovasi 'gedung' Kompasiana dan pelebaran ' jalan'  bandwith terus menerus dilakukan siang dan malam. Para kuli software dan tukang gali program bekerja keras membanting keyboard demi melayani kepuasan warga dan pembacanya di manapun saja berada. Tanpa mengurangi perasaan bangga atas capaian tersebut di atas, beberapa hal nampaknya masih harus terus dicermati agar chemistry yang telah terjalin kian erat antara Kompasiana, kompasianer, dan khalayak pembaca. Masalah yang perlu memperoleh perhatian yaitu mengenai pengelolaan komunitas dan tradisi pengikatnya sebagai rempah penyedap sekaligus ciri khas kebanggaan kompasianer. Mari kita mulai dengan yang pertama: pengelolaan komunitas. Tidak perlu mengutip pasal kemerdekaan berserikat dan berkumpul untuk mengakomodasi hasrat bersosialisasi secara terbatas sesuai minat dan keperluan. Berdirinya Negeri Ngotjoleria, Negeri Ketol, Desa Rangkat, atau Desa Kenthir, adalah produk imajinasi yang mencerminkan kebutuhan untuk ber-guyub-ria. Dari sudut pandang individu warga, komunitas total kompasianer yang konon telah berjumlah 50.000-an adalah keramaian yang asing. Tanpa sapaan dan komunikasi yang intensif, mustahil seorang warga akan kerasan dan feeling in group dengan sesama warga yang lain. Kecuali memang bagi kompasianer dari jenis lone rider yang lebih suka menghindari kerumunan. Motif perserikatan bisa beraneka ragam dan beranak pinak. Misalnya, motif ekonomi untuk membuat naskah komersial seperti buku, cerita bersambung, antologi puisi, atau bahkan script film! Dengan membentuk komunitas yang lebih khusus kompasianer bisa lebih mudah menemukan wadah untuk bersosialisasi dan mengembangkan diri sesuai talentanya. Mungkin pula ada kelompok hobi dan kegemaran. Misalnya, kelompok para pengejar HL (head line), atau grup pemburu 3T (terpopuler, tertinggi, terbanyak). Bagi warga yang hobi beternak kambing, nonton adu domba, atau senang makan satenya, boleh mendirikan KBFC, Kambing Bandot Fans Club. Sementara kompasianer yang doyan makan lalap-lalapan seperti pucuk singkong, surawung, atau daun mareme, boleh mendirikan DMFC, Daun Muda Fans Club. Hanya saja harap diperhatikan masalah penempatannya agar jangan sampai daun muda habis digasak oleh kambing bandot. Masih dari sudut pandang warga juga, masalah yang perlu diperhatikan adalah masalah pengelolan pertemanan. Seperti di dalam Facebook, pertemanan dapat dikelola secara personal. Di Kompasiana hal ini menjadi bertambah penting karena dapat berarti pengelolaan prioritas, tulisan dari siapa dulu yang akan dibaca, tanpa harus repot mencari-cari. Prioritas ini bisa berdasarkan kedekatan, penilaian akan kualitas isi, atau kecocokkan dengan gaya tulisan yang sifatnya manasuka (arbitrer); bukan melulu pemilahan tematik seperti yang telah ada di halaman muka Kompasiana. Lebih enak lagi apabila kita dapat mengoleksi tulisan-tulisan tertentu yang dianggap penting atau istimewa. Berikutnya, masalah kedua: tradisi. Setiap suku bangsa memiliki upacara adatnya sendiri-sendiri, setiap negeri memiliki tradisinya masing-masing; demikian juga di jagat virtual ini. Sebagai contoh, istilah update status adalah khas para facebooker, sebagaimana para tweps akrab dengan trending topic, follower, atau hastag. Lalu, adakah disini agan kaskuser yang barusan dapat segelas cendol atau kena lempar bata gara-gara repost? [caption id="attachment_73260" align="aligncenter" width="288" caption="surawung temen pecel lele dari kebun di http://triatra.files.wordpress.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H