Seminggu yang lalu, 24 Oktober 2016 dokter Indonesia kompak turun ke jalan menuntut REFORMASI SISTEM KESEHATAN YANG PRO RAKYAT dan REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN DOKTER YANG PRO RAKYAT. Di Jakarta ribuan dokter melakukan aksi damai longmarch dari Parkir Gambir hingga Istana Negara, tidak lupa menyambangi Kementerian Kesehatan yang disebut sebagai ibu para dokter. Walaupun aksi ini serentak dilakukan di hampir tiap kota/ kabupaten namun dipastikan tidak ada gangguan pelayanan yang signifikan, karena yang datang adalah perwakilan dan prioritas untuk pelayanan emergency dan perawatan pasien kritis tidak akan ditinggalkan.
Menariknya kali ini IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memperingati Hari Dokter ke-66 dengan sebuah acara yang jauh dari seremonial dan bahkan menepis kesan dokter sebagai profesi yang mapan dan jauh dari rakyat. Sayangnya masih banyak yang belum menangkap PESAN PENTING DARI AKSI DOKTER kali ini, media dan masyarakat mungkin belum bisa melihat ada PERMASALAHAN BESAR yang menyebabkan dokter harus turun ke jalan, begitupula PEMERINTAH MUNGKIN TIDAK MAU MELIHAT, BISU DAN TULI atas teriakan dokter yang sebenarnya sangat keras, jelas dan tegas.
Dalam aksi kemarin dokter TIDAK MENUNTUT KESEJAHTERAAN, tidak pula permintaan untuk diistimewakan walaupun sebenarnya negeri ini sudah mulai SOMBONG DAN ZALIM terhadap rakyatnya sendiri. Ya negeri ini seakan tidak butuh dokter, profesi dokter sejak pendidikan dijadikan proyek komersil. Semua yang terkait dokter menjadi mahal, bahkan pajak dokter pun dibuat SELALU LEBIH BAYAR. Wajar kalau kemudian dokter selalu dilihat sebagai gambaran profesi elit, kaum sukses dan jauh dari kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat negeri ini. Dokterpun selalu menjadi KAMBING HITAM atas carut marutnya SISTEM KESEHATAN NASIONAL.
Secara tidak disadari sebenarnya pemerintah menjauhkan profesi ini dari sejarahnya sebagai profesi pejuang. Dokter yang semestinya dididik untuk selalu bersikap kritis dan membela kepentingan rakyat TERPAKSA harus hidup dalam HUTAN RIMBA BELANTARA KESEHATAN. Dokter dijerumuskan dalam  persaingan untuk bisa hidup dan makan dari SEKTOR KESEHATAN yang semestinya merupakan kewajiban negara (pemerintah) untuk memenuhinya. Dokter terpaksa harus hidup dari pasien karena pemerintah memang tidak pernah menganggap penting adanya standar penghasilan profesi dokter apalagi menjadikan DOKTER SEBAGAI TENAGA STRATEGIS agar dokter hanya perlu memikirkan pelayanan dan keselamatan pasien-pasiennya. Kenyataannya pemerintah membiarkan sektor kesehatan sebagai HEALTH INDUSTRY yang dikuasai kapitalis (terutama asing) dan dokter dijerumuskan menjadi sekedar pekerja produksi jauh dari esensi sebuah profesi mulia.
Saatnya Sejarah Perjuangan Dokter Terulang Kembali
Harus diakui bahwa dokter Indonesia awalnya dicetak Belanda karena kebutuhan tenaga kesehatan untuk mengatasi wabah penyakit. Walaupun Belanda beralasan menjalankan Politik Etis(pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk) sebagai panggilan moral dan hutang budi kepada bumiputera tetap saja misinya untuk mendukung kolonialisasi. Kebijakan etis di bidang pendidikan melahirkan kelompok elite baru berupa kaum terpelajar, kaum intelektual atau kaum cendikiawan.
Sebelumnya Belanda hanya memberikan penghormatan kepada elite lama berdasarkan struktur politik yang berlaku pada masyarakat pribumi yaitu penguasa pribumi : raja, patih, penguasa lokal bupati, wedana, asisten dan lurah.
Perkembangan dari Sekolah Dokter-Djawa kemudian berubah menjadi School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA atau Sekolah untuk Pendidikan Kedokteran Pribumi) pada tahun 1902 dan berdiri pula Nederlandsche-Indische Artssenschool (NIAS atau Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya pada tahun yang sama sebenarnya seiring dengan semakin meluasnya usaha perkebunan swasta di Hindia Timur dimana kesehatan para pekerja menjadi aset penting, sedangkan Dokter Eropa susah didapat dan mahal gajinya.
Elite baru bumiputera dalam perkembangannya terdorong untuk melakukan perubahan nasib bangsa yang diawali dengan tumbuhnya kesadaran nasional yang pada akhirnya menjadi gerakan nasionalisme. Dokter pada saat itu merupakan priyayi rendahandi bawah priyayi atas yaitu petugas administrasi pemerintahan seperti bupati atau birokrat lainnya.
Kegagalan priyayi atas memperlakukan dokter secara profesional (karena memperoleh status sosial berdasarkan kualifikasi pendidikan bukan sekedar hadiah) mendorong dokter sebagai elit yang memiliki kesadaran nasional dalam tiga hal :
(1). Kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan;