KEBANGKITAN DOKTER INDONESIA
(Trilogi Sarasehan Akbar DIB)
Sarasehan Akbar Dokter Indonesia Bersatu (DIB) 16-17 Mei 2014 di Musium Kebangkitan Nasional (Ex STOVIA) telah usai, tema "Mau Dibawa Kemana Dokter Indonesia", semestinya bukan menjadi kalimat tanya lagi. Seharusnya berubah menjadi "Mau Kemana Dokter Indonesia?", artinya dokter Indonesia tak boleh berpangku tangan lagi pada orang lain, harus berani melakukan perubahan sendiri.
Tak terasa kebersamaan dokter Indonesia dalam sebuah acara yang terbebas dari kepentingan politik, birokrasi dan ekonomi kapitalis, berlangsung secara sederhana dan penuh semangat kebangsaan yang tercipta dari setting acara dan suasana gedung STOVIA. Nuansa keberagaman muncul disertai dengan semangat kebersamaan dokter Indonesia, dokter tua-muda berkumpul menjadi satu, melepaskan diri dari ikatan-ikatan suku, agama, ras. Tak terlihat mana dokter spesialis, mana dokter umum, yang mana dokter PNS mana dokter swasta, bahkan acara kali inipun dipersiapkan sendiri tanpa event organizer, tak terlihat mana golongan "pejabat teras" DIB mana golongan pekerja karena di DIB tidak ada kasta, semua dapat menyumbangkan pemikiran dan  berkewajiban memberikan keahlian, kemampuan finansial dan tenaga untuk perjuangan DIB. Acara inipun bukan sekedar untuk penggalangan dana apalagi mengambil keuntungan semata, sudah terlalu sering acara yang mengundang dokter sebagai peserta hanya merupakan sarana bisnis walaupun judulnya kegiatan ilmiah.
DOKTER DAN RAKYAT KORBAN SISTEM
Berbagai kebijakan pemerintah dibidang kesehatan ternyata hanya isapan jempol alias sekedar alat untuk mencapai tujuan sesaat yang pada akhirnya akan menempatkan dokter dan rakyat dalam posisi berlawanan. Dokter dan rakyat akan diadu karena keduanya memiliki potensi konflik (sengketa medis) yang berawal dari kesenjangan informasi dan pemahaman akan masalah medis.
JKN merupakan malapetaka jika sistem yang dibuat masih tidak berkeadilan dan dijalankan hanya untuk memenuhi pesanan kelompok tertentu dengan mengorbankan banyak pihak terutama rakyat dan dokter.
BPJS mestinya bukan seperti mobil mewah Mercedes Benz S600 dengan standar keamanan dan fasilitas mutakhir yang disopiri tukang becak dan diberi bahan bakar solar seperti bis metromini yang asapnya membuat pencemaran udara dan sering menimbulkan korban. Kalaupun dokter hebat diibaratkan ban paling mewah dan amanpun tetap akan bermasalah saat digunakan, bisa jadi ban akan cepat aus atau tergores rusak karena jalannya tidak mulus. Begitupula komponen-komponen mobil lainnya ibarat sumber daya manusia yang tidak dapat bekerja optimal bahkan mudah rusak jika salah menggunakan.
Ketidakpuasan pasien (rakyat) akan layanan kesehatan, dikombinasi dengan tidak meratanya dokter di fasilitas kesehatan karena dokter tidak mau mengabdi di daerah (padahal alasan sebenarnya pemerintah hanya mau membeli murah dokter Indonesia, bandingkan dengan negara tetangga yang siap mendanai pendidikan dokternya di negara kita), dokter lambat melayani dan malas menjelaskan kondisi pasien (padahal dokter harus menghadapi antrian pasien yang tidak manusiawi), dokter Indonesia mahal (padahal komponen jasa medis tidak semua untuk dokter) dan dokter Indonesia tidak profesional (padahal standar kerja, fasilitas infrastruktur, SDM lainnya yang tidak mendukung untuk bekerja profesional) akan selalu menjadi alasan yang sah untuk menekan dokter dan membuka kran besar masuknya dokter dan rumah sakit asing ke Indonesia. Selamat datang era perdagangan bebas AFTA 2015, selamat bagi "negarawan" yang telah bangga menjual aset bangsa dengan harga murah dan siap membeli barang impor (layanan kesehatan asing) dengan harga berkualitas. Apa jadinya jikalau pelayanan kesehatan Indonesia tak ubahnya seperti bawang, beras dan kedelai impor, kemanakah dokter Indonesia ?
LEMAHNYA PERLINDUNGAN PROFESI
Tidak imbangnya antara tuntutan kepada profesi dokter dan realitas yang dihadapinya menunjukkan lemahnya profesi mendapat perlindungan hukum. Lemahnya perlindungan hukum bagi dokter menyebabkan sering gagalnya transaksi teraupetik oleh karena rendahnya kualitas kepercayaan pasien terhadap dokter. Secara langsung akan memberikan dampak negatif berupa ketakutan dokter dalam memberikan pertolongan kepada pasien yang cenderung mendorong dokter melakukan praktek pengobatan defensif. Kondisi ini akan diperparah sikap pemimpin bangsa yang mencari popularitas dengan menjadikan dokter sebagai penanggungjawab buruknya pelayanan kesehatan.
Bergabungnya dokter dan komponen rakyat lainnya untuk memperbaiki sistem negara terutama kesehatan merupakan kebutuhan mutlak, keniscayaan yang memang harus terwujud seperti halnya BOEDI OETOMO tidak mungkin berjalan sendiri tanpa komponen bangsa lain selain dokter. Sesi "Peran Dokter Dalam Pandangan Masyarakat" dalam Sarasehan Akbar DIB menunjukkan niatan dokter Indonesia untuk membuka diri dan siap bersama rakyat melakukan perubahan besar. Pandangan dokter sebagai warga negara terhormat bahkan 1/2 Dewa harus ditinggalkan karena kenyataannya hanya membebani kita untuk bergerak melakukan perubahan. Tidak hanya dokter akan mudah disalahkan (karena dewa tidak boleh salah) tapi akan menghilangkan ruh perjuangan profesi melawan ketidakadilan dan kezaliman. Kehadiran YLKI, Dewan Pers dan organisasi buruh serta dukungan mereka kepada dokter Indonesia untuk melakukan perubahan adalah angin segar yang harus tetap dipertahankan demi perjuangan bersama memperbaiki sistem. Bukan tidak mungkin suatu saat dokter dan rakyat bersama-sama melakukan perubahan besar bangsa ini.