Membenahi sektor kesehatan adalah salah satu pekerjaan rumah pemerintahan baru. Demi menunjang program jaminan kesehatan nasional, Presiden Jokowi hari ini senin, (3/11/2014) meluncurkan program Kartu Indonesia Sehat (KIS). Salah satu janji politik Jokowi dalam kampanye pilpres lalu adalah meluncurkan Kartu Indonesia Sehat. Kelak dengan adanya Kartu Indonesia Sehat ini, pelayanan kesehatan untuk masyarakat sebagai tanggung jawab negara akan kian maksimal.
Pada pemerintahan sebelumnya, Indonesia baru saja mengimplementasikan Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014. Implementasi ini berdasarkan amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat UU No. 24 Tahun 2011, PT Askes (Persero) bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ditargetkan pada 2019 seluruh penduduk Indonesia telah tercover dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dalam UU No. 40 Tahun 2004 mengatakan bahwa setiap peserta akan memperoleh jaminan pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sesuai dengan kebutuhan medis tanpa membedakan besaran iuran/premi yang dibayar, termasuk bagi pelayanan kesehatan dengan biaya tinggi seperti cuci darah, operasi jantung, dan kanker. Ini sesuai dengan asas kemanusiaan yang tertuang dalam azas penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Terhitung sejak 1 Januari 2014, pemerintah telah memberlakukan JKN sebagai pelaksanaan jaminan kesehatan, sesuai dengan UU. No 40 Tahun 2004. JKN telah mengintegrasikan program Jamkesmas yang selama ini diselenggarakan oleh pemerintah daerah, termasuk Kartu Jakarta Sehat, jaminan kesehatan PT Jamsostek (Persero), dan jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensisun PNS/TNI/Polri yang dikelola PT Askes (persero). Jaminan Kesehatan dalam UU SJSN diharapkan mampu memberi manfaat kepada semua peserta program jaminan sosial pada semua tingkat sosial masyarakat. Manfaat pelayanan kesehatan yang diperoleh harus sesuai dengan kebutuhan dasar yang layak.
Hari ini Presiden Jokowi telah meluncurkan Kartu Indonesia Sehat. Sepintas ini menimbulkan pertanyaan apakah keduanya, antara JKN dan KIS saling terkait, sejalan, atau program yang berbeda? Apalagi kalau kita pertanyakan, apakah semua itu dalam rangka pelaksanaan UU. No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional?
Pertanyaan demikian muncul bukan tanpa sebab, disaat sosialisasi yang belum sepenuhnya menyentuh seluruh aspek masyarakat tentang Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS, sekarang muncul lagi Kartu Indonesia Sehat. Masyarakat juga akan dibingungkan dengan banyak kartu yang semakin banyak diluncurkan namu tak kunjung selesai. Kemudian dari aspek konstitusi, secara konstitusional apakah KIS sudah merujuk pada UU No. 40 Tahun 2004? Apakah KIS merupakan implementasi jaminan kesehatansesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004?
Kita boleh saja mempertanyakan apa arti sebuah nama Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun, sebagai warganegara yang taat hukum, yang terpenting adalah landasan konstitusi. Kalau berbeda apakah perlu UU baru?
Mengukur Kemampuan Pemerintah
Dari segi keuangan, apakah pemerintah Indonesia sanggup menopang Kartu Indonesia Sehat dalam mekanisme SJSN? Kemampuan keuangan diukur antara lain dari besaran ruang fiskal. Dilihat dari data APBN 2014, total anggaran pemerintah adalah Rp. 1.842,5 triliun. Bicara untuk ruang fiskal jaminan sosial, dalam APBN 2013 dapat dilihat bahwa pemerintah Indonesia telah mengalokasikan lebih dari Rp.508, 2 triliun (hampir separuh anggaran) untuk upaya pengentasan kemiskinan. Sementara hari ini, untuk alokasi pencetakan kartu Indonesia Sehat pemerintah mengeluarkan 6.24 triliun dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementrian Sosial.
World Health Organization (WHO) menegaskan, dihampir semua negara berkembang selalu ada problem kesenjangan ruang fiskal antara besarnya jumlah penduduk yang membutuhkan bantuan karena beban penyakit yang serius dengan kapasitas keuangan pemerintah yang jauh lebih kecil. Sejalan dengan prinsip WHO, World Bank (2006) menyebutkan bahwa siapapun yang menjalankan sistem jaminan sosial, baik negara maupun swasta harus ada semacam pooling resiko (pemusatan resiko) dan prepayment untuk menjaga keberlangsungan program. Hal itu juga dilakukan agar masyarkat terhindar dari kekagetan harus membayar jumlah biaya yang terlalu besar. Selain itu pemerintah harus menghindari terjadinya fragmentasi program yang diselenggarakan oleh banyak pihak (apalagi tumpang tindih). Program yang terfragmentasi akan mengurasi keadilan (equity) dan efesiensi. Apakah itu KIS atau JKN, penerapannya harus dikelola dengan sistem yang baik.
Dengan demikian, seputar keterbatasan kemampuan fiskal pemerintah Indonesia haruslah disikapi secara proporsional dan dewasa agar penerapan SJSN bisa berjalan efesien. Semoga
Oleh: Agung Prihatna
(Direktur Eksekutif Center Of Social Security Studies)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H