Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat, dewasa ini telah berkembang diseluruh dunia dengan berbagai modifikasi, sesuai keadaan, kebutuhan dan bahkan sitem politik dan sistem ekonomi setiap negara. Namun pada prinsipnya bahwa program jaminan sosial tumbuh berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Negara mempunyai peran besar dalam memberikan jaminan sosial bagi seluruh rakyatnya. Posisi negara sebagai entitas tertinggi jelas mempunyai intervensi kebijakan terhadap program jaminan sosial.
Dalam perjalanannya, studi yang dilakukan Esping Anderson (1990) ataupun John D Stephans (2007) telah menyampaikan dua fakta menarik untuk direnungkan. Pertama, sistem jaminan sosial merupakan konsesi politik untuk tetap dapat melestarikan ekonomi pasar. Konsesi ini diberikan kepada pekerja setelah melalui perjuangan politik yang getir dan panjang. Ia bukan sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma. Oleh sebab itu, jika kita memang menginginkan ekonomi pasar berlangsung, sistem jaminan sosial harus diciptakan untuk membuat ekonomi pasar memiliki wajah dan sentuhan yang lebih manusiawi dan agar ekonomi pasar itu juga memiliki akar yang kuat di masyarakat.
Kedua, variasi dari model sistem jaminan sosial diantara negara-negara industri maju sangat ditentukan dukungan politik yang diberikan oleh lapisan sosial. Di negara-negara Skandinavia, misalnya, yang dikenal memiliki cakupan jaminan sosial yang sangat universal, dukungan yang sangat luas dari berbagai lapisan sosial telah ada sejak sistem jaminan sosial di negeri ini diperkenalkan di abad ke-19. Situasi yang hampir mirip ditemukan juga di negara-negara Eropa lainnya.
Memberikan jaminan sosial bukan hanya peran negara dalam bentuk regulasi, tetapi juga sebagai penyelenggara, pemberi kerja yang harus ikut membayar iuran, dan bahkan juga sebagai penanggung jawab keberlangsungan hidup program jaminan sosial, termasuk memberi subsidi, apabila diperlukan. Bagi masyarakat tidak mampu membayar iuran program jaminan sosial, negara dapat menyelenggarakan program bantuan sosial (social assistance) atau pelayanan sosial (social service), yang penyelenggaraannya dapat dititipkan pada penyelenggaraan jaminan sosial.
Program jaminan sosial di Indonesia salah satunya, telah diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, dan yang baru muncul Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun, baik dilihat dari jumlah kepesertaan, jenis program dan kualitas manfaat, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan dan regulasi ternyata memerlukan penyempurnaan. Peserta program jaminan sosial di Indonesia dibanding dengan negara lainnya masih terlalu sedikit (sekitar 20%). Maka dari itu negara yang sudah memberikan regulasi dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional harus mampu meningkatkan manfaat serta lebih berkeadilan.
Salah satu program jaminan sosial adalah jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan yang diselenggrakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial ini dikenal dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan kesehatan sendiri bertujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah.
Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) perlunya koordinasi diberbagai lapisan agar pendistribusian kesejahteraan dan penjamin kehidupan dan penghidupan yang layak bagi rakyat berjalan dengan baik. Karena itu gagasan negara untuk menciptakan tangan keadilan harus nampak. Intervensi dan koordinasi yang positif bisa dilakukan oleh pemberi fasilitas layanan kesehatan. Kementrian Kesehatan sebagai tangan negara dalam bidang kesehatan bisa memberikan intervensi positif, salah satunya intervensi positif bisa dilakukan melalui peningkatan kualitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit.
Rumah Sakit yang diatur dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 dalam pelaksanaanya dilapangan harus memberikan pelayanan perorangan yang paripurna. Penyediaan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat yang diselenggrakan haruslah berjalan dengan baik. Pelayanan kesehatan paripurna yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan yang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Sudah seharusnya, rumah sakit diselenggarakan dengan nilai-nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak, dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan, dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Dengan demikian akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan perlindungan keselamatan semakin membaik.
Sebelumnya, kasus tak menyenangkan dibeberapa rumah sakit Indonesia memiliki pelayanan yang kurang baik. Salah satunya seperti yang ditulis suami pasien dalam surat redaksi Kompas (Jumat, 12 Desember 2014). Salah satu rumah sakit di Lingkar Selatan Bandung, peserta BPJS kelas I mendapat perlakuan cenderung diskriminatif di instalasi gawat darurat. Hal demikian jelas kontradiktif dengan pelayanan yang seharusnya diterima pasien sesuai Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pada lanjutan surat yang dikirim melalui surat pembaca, pasien mendapat pengalaman berbeda di Rumah Sakit Hermina, Pasteur, Bandung. Pasien pemegang kartu BPJS kelas I harus melahirkan secara caesar dan pendarahan pada 1 November 2014. Penanganannya tidak diskriminatif dan layanan BPJS yang cepat membuat pasien berterimakasih terhadap layanan BPJS. Ini merupakan bukti fasilitas pelayanan kesehatan yang harus terus dibenahi secara merata. Rumah sakit harus terus meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit yang baik, sehingga mempermudah akses dan perlindungan terhadap keselamatan pasien.
Hari ini, (Senin, 15 Desember 2014), Agung Prihatna, Direktur Eksekutif Center of Social Security Studies (CSSS) berdiskusi di Kampus Fisip Universitas Indonesia Depok. Mereka anak-anak muda yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia. Dalam diskusinya, Agung memberikan pandangan mengenai jaminan sosial. Kepada anak-muda ini Agung mengatakan bahwa seperti dalam studi Esping Anderson, ia juga mengatakan bahwa posisi dan peran negara dalam jaminan sosial sangat diperlukan. Ia juga mengatakan bahwa peran dari setiap lapisan masyarakat diperlukan guna mendukung sistem jaminan sosial yang universal.
Ini artinya peran dan peluang jaminan kesehatan akan besar jika koordinasi dari berbagai lapisan mendukung. Terlebih Kementrian Kesehatan sebagai pemberi layanan kesehatan. Sudah seharusnya ada regulasi yang menguatkan agar tiap rumah sakit menjalankan fungsi sosialnya dengan baik. Kecepatan penanganan pasien di rumah sakit adalah bentuk jaminan kesehatan nasional yang benar-benar dilakukan secara universal. Sehingga rumah sakit memang bekerja untuk jaminan kesehatan nasional yang dicita-citakan negara.
Menyibak hal diatas, rumah sakit tidak perlu bimbang menunggu persetujuan dari pimpinan yang absen hadir dan hanya membuat administrasi ribet. Jika kondisi pasien memang segera memerlukan pertolongan gawat darurat harus segera ditangani. Kesehatan pasien merupakan jasa publik yang merupakan hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi oleh penyelenggara pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah, swasta, kelompok atau individu. Tanggung jawab publik rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan publik diatur dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Mereka yang lambat menangani seharusnya diberikan sanksi jika memang regulasinya tegas.
Kita harus belajar dari negara-negara Eropa yang memberikan jaminan kesehatan dalam mekanisme asuransi sosial. Dalam majalah Forbes, 99,5% warga Swiss memiliki asuransi kesehatan. Hampir semua orang mampu membeli asuransi dan melakukannya. Bagi mereka yang tidak dapat mengakses asuransi kesehatan swasta, pemerintah mensubsidi mereka. Ini mencegah individu menghabiskan dari 10% pendapatan mereka pada perawatan kesehatan. Hampir setiap orang harus memiliki persyaratan minimal untuk perawatan kesehatan. Dan hal ini sangat ditunjang oleh kebijakan pemerintahnya. Sebuah studi Harvard mengidentifikasi bahwa pemerintah Swiss menghabiskan 11,4% dari Produk Domestik Bruto mereka pada masalah kesehatan. Ini adalah jumlah yang lumayan tinggi mengingat besarnya PDB negara Swiss dibagi dengan jumlah penduduknya.
Ini tantangan dan juga peluang kita bagaimana era jaminan kesehatan nasional bisa menjadi Universal Health Coverage yang berkeadilan. Terpenting koordinasi tiap lapisan sosial harus berjalan dengan baik. Pemerintah harus menjalankan praktik berkeadilan sesuai regulasi. Agung sendiri telah terjun dalam aktivitas kajian dibidang jaminan sosial yang suatu saat ingin berkontribusi dalam perbaikan jaminan kesehatan di Indonesia. Agung yakin suatu saat kita bisa melakukannya. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H