Mohon tunggu...
Agung Pratama
Agung Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Pegiat isu sosial, politik, gender, dan media. netizen barbar tapi kritis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Malin Kundang yang Tak Durhaka

13 Maret 2022   12:54 Diperbarui: 13 Maret 2022   15:52 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak mengenal dongeng populer asal sumatera barat itu? tentu saja sebagian besar dari kita tumbuh besar dengan dihantui oleh plot malin kundang ketika berubah  menjadi batu karena durhaka kepada sang ibunda. 

Sosok malin kundang senantiasa mengingatkan kita untuk selalu menghargai ibu, menjadikan ibu sebagai sosok yang harus dipatuhi segala perintahnya.

Ada begitu banyak cerita inspiratif tentang anak yang berbakti kepada orangtua, dan juga apa saja akibat jika durhaka kepada orangtua. Tapi penulis pribadi belum pernah mendengar cerita dongeng atau film tentang orangtua yang durhaka kepada anak-anaknya. Ini adalah garis besar yang ingin penulis bahas dalam tulisan ini.

Mengapa pemikiran ini muncul?

Pada artikel sebelumnya yang berjudul Menyurati para ayah, penulis mendapatkan fakta bahwa 47% anak laki-laki dan 35% anak perempuan yang belum berusia 18 tahun di Indonesia masih mengalami kekerasan dalam rumah tangga, meski kasus anak durhaka kerap kita temukan di berbagai platform di sosial media, tetapi data kekerasan anak terhadap orangtua tidak ada di dalam database manapun. Meski begitu kita akan tetap menemukan banyak berita ketika mencari kata kunci yang terkait.

Alasan berikutnya adalah rekan-rekan penulis kerap bercerita tentang kesehariannya ketika menghadapi konflik dirumah dengan orangtua, baik itu ibu maupun ayah. 

Diantara keluhannya seperti "Kenapa ya orangtuaku kalau marah suka ungkit-ungkit pemberiannya?", "Kenapa ya orangtuaku suka umbar aib anak-anaknya?", "Kenapa ya orangtuaku suka marah-marah kepadaku karena kesalahan orang lain?", "Kenapa orangtuaku menelantarkanku?".

Anak-anak mencoba berbakti seperti yang diperagakan di dalam serial televisi, tetapi pada kenyataannya berbakti saja tidak cukup, beberapa anak akan dihadapkan dengan kondisi rumah tangga yang kurang harmonis bahkan runyam. 

Sedangkan, anak-anak tidak mengetahui bagaimana menghadapi konflik rumah tangga yang berujung menjadi objek pelampiasan amarah orangtua.

Kenapa orangtua selalu benar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun