Mohon tunggu...
Agung Pratama
Agung Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Pegiat isu sosial, politik, gender, dan media. netizen barbar tapi kritis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Malin Kundang yang Tak Durhaka

13 Maret 2022   12:54 Diperbarui: 13 Maret 2022   15:52 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah dimarahi tanpa alasan, anak-anak berpikir "apa salah saya?" yang membuat logika seolah-olah "kenapa orangtua selalu benar?" Lu'Luil Maknum dalam jurnal yang berjudul kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua (child abuse) mengatakan bahwa orangtua mampu memaksakan kehendak, menciptakan rasa takut, merampas kebutuhan anak sehingga berakibat pada psikis anak.

Ungkapan seperti "ibu dan ayah sudah lebih dulu merasakan asam dan garam hidup, kamu masih kecil dan tidak tahu apa-apa, turuti saja apa kata kami" seperti itulah jurus pamungkas yang kerap terlontar, padahal kita harus tahu bahwa setiap manusia terlahir pada zaman yang berbeda, dan kondisi yang berbeda, meskipun beberapa trek hidup akan terasa sama.

Parental produced stress atau orangtua yang memiliki gangguan kejiwaan , tekanan mental, atau kekerasan pada masa lalu berpotensi besar memberikan perlakuan keras terhadap anak, mata rantai ini lah yang harus diputus untuk memerangi kasus-kasus yang ada. Masing-masing orangtua abusif dan anak yang menjadi korban, keduanya membutuhkan bantuan psikologis.

Apa yang bisa dilakukan para anak?

Ada sebuah postingan menarik dari akun instagram @hasanaska_ri tentang scapegoat (kambing hitam kesayangan keluarga), dimana seorang anak yang selalu menjadi penyebab dari segala malapetaka yang hadir di dalam keluarga dan ia senantiasa menjadi orang yang 'disalahkan' walau itu bukan kesalahannya.

Menjadi seorang scapegoat pastilah sangat melelahkan, tidak ada istilah home sweet home, karena rumah lebih terasa seperti neraka dimana ia akan selalu mencari hal-hal yang dapat dilakukan selain pulang kerumah, terdengar ironi tetapi itulah yang terjadi. Karakter anak yang menjadi scapegoat akan terbunuh sampai otaknya beranggapan bahwa ialah penyebab dari semua kesalahan, padahal tidak sama sekali.

Cuitan @aldysuhada_
Cuitan @aldysuhada_

Setelah dewasa, berusahalah untuk berdamai dengan keadaan dan fokuslah untuk menyembuhkan luka-luka batin selama menjadi scapegoat. Dari laman psycentral.com, artikel berjudul The Scapegoat Child : Effect and Lasting Pains menyebutkan langkah-langkah untuk memulihkan dampak psikologis dengan :

  1. Merenungi dan memahami bahwa segalanya bisa saja terjadi
  2. Pembicaraan kecil dengan diri sendiri dengan kesadaran
  3. Membangun ulang kecerdasan emosinal
  4. Membuat ikatan emosional

Tidak ada orangtua yang menginginkan anak yang durhaka, begitu juga sebaliknya. Yang perlu kita ketahui bersama adalah hak orangtua dan hak anak hendaknya seimbang, bukan berat sebelah hanya sebuah kisah fiksi, hanya karena sebuah cerita memiliki pesan moral yang tinggi, bukan berarti itu merupakan acuan kebenaran mutlak.

Semoga mewakili pihak-pihak terkait, salam hangat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun