Mohon tunggu...
Agung Pratama
Agung Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Pegiat isu sosial, politik, gender, dan media. netizen barbar tapi kritis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Bawah Kabut Asap

15 Oktober 2019   19:38 Diperbarui: 15 Oktober 2019   19:48 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit Sumatera selatan masih terkontaminasi, hujan yang belum lama ini mengguyur tanah masih belum cukup memudarkan kepulan asap karhutla yang disengaja, setiap penduduk berkeluh kesah mau sampai kapan lagi tindakan ini diteruskan? satu, dua jiwa telah dikorbankan demi memberi tempat bagi segelintir orang ber-uang. 

Kenyataan ini menjadi ironi, yang kuat harusnya melindungi, tapi malah menindih. Caruk maruk kehidupan kota tak sebanding dengan daya upaya penduduk desa yang mayoritas hidup bergantung dari hasil pertanian, kalau tidak hujan apa yang bisa kami gantungi?

Kebun pare yang di replanting (dokpri)
Kebun pare yang di replanting (dokpri)
"Pasar sepi, ya kan semuanya tergantung harga sawit dan karet, kalo murah ya pasar sepi. lah semua orang pendapatannya dari sana", ucap wanita paruh baya yang tengah saya wawancarai. air mukanya kecut ketika ditanya perihal kondisi pasar. Emi Suharo, dia ibuku yang aku jadikan narasumber dalam tulisan ini. Daratan yang gersang, sumber air yang semakin jauh karena kemarau cukup menyulitkan warga pesisir sungai musi yang harus turun ke sungai lebih jauh dan curam, meski sudah ada PDAM, sungai musi tetap menjadi bagian sumber pangan bagi warga sekitar. "air PDAM juga bergantung sama air sungai, ya kalau sungai surut kan, proses penjernihan tidak secepat dulu, air yang dialirkan juga sedikit" tutur ibuku.

Setiap lahan pertanian, perkebunan menjadi tandus, debu kerap menjadi pemicu gangguan pernapasan, belum lagi asap karhutla yang beberapa hari ini semakin menjadi-jadi, kami bisa melihat matahari dengan jelas di pukul 15.00 sore, embun pagi yang diharapkan sebagai penyegar telah beralih menjadi polutan di waktu fajar. Ekosistem dan sistem sosial terganggu sejak keberadaan asap di setiap sudut langit, sekolah diliburkan dan setiap anak rentan terinfeksi gangguan pernafasan. 

Polusi dan kemarau panjang menjadi perpaduan sempurna dalam mendistorsi perekonomian desa, hujan yang diharapkan oleh para petani tampaknya belum memberi rasa puas, belum lagi hasil tani yang kurang baik membuat harga pasar semakin turun, sedangkan kebutuhan pangan meningkat. 

"Gimana harga panen mau mahal, lah wong hasilnya ga bagus. kita bergantung sama hasil tanaman, tapi gimana kalo tanahnya kering? tanamannya ga produktif lah nak"ujarnya.

Hujan adalah momen yang sangat diimpikan oleh seluruh petani di daratan sumatera selatan, sederhana saja, hujan akan memperbaiki struktur tanah, kualitas tanaman, mengurangi asap, dan mengembalikan harga jual yang diinginkan. 

Tulisan ini tidak punya orientasi untuk memarginalkan, apalagi menyalahkan segala sesuatu dibalik karhutla yang disengaja. Karin Novilda dalam dokumentasinya "Apakah kalian tega, hanya karena harta dan tahta, kalian membuat banyak makhluk sengsara?". Pernyataan ini tentu sangat representatif jika dilihat dari fenomena yang terjadi saat ini.

Dibawah kabut asap, kesehatan rakyat melemah, Dibawah kabut asap, perekonomian rakyat disandera, Dibawah kabut asap, rakyat semakin lengah... dari perhatian penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun