Dulu sekali waktu Ospek, kakak- kakak  angkatan selalu membicarakan unggah ungguh. Cara bagaimana bersikap dengan orang menyesuaikan tingkatanya, kedekatanya, posisinya, dan sebagainya. Pesan yang saya ingat, bahwa kepada siapapun ada caranya untuk menjalin komunikasi, langsung atau tidak langsung.
Pola hubungan sosial yang diajarkan Beliau bukan semata-mata untuk membuat pengkotak-kotakan, atau mempertajam tingkatan dari masing-masing orang, misalnya kakak kelas dan adik kelas, tapi lebih kepada memposisikan antara penghormatan, pengayoman atau keakraban. Sama seperti budaya kami orang Jawa, perbedaan itu ditandai dengan cara penggunaan bahasa ‘Ngoko, Kromo atau Kromo Inggil. Budaya semacam ini ada pada suku- suku kita di Nusantata.
Pentingnya Unggah ungguh ini tentunya bukan hanya untuk salah satu pihak, tapi kedua2nya, bahkan lingkungan sekitarnya. Iklim Sosial yang dibangun atas dasar penghormatan dan pemahaman pada porsi manusia sosial akan terasa harmonis, karena masing2 pihak memahami batasan dan sudut pandang masing2. Pihak2 itu lalu akan mampu berempati, bertoleransi dan memegang teguh nilai – nilai kehidupan. Sopan dengan yang lebih tua, sayang dan mengayomi dengan yang lebih muda, ataupun akrab dengan yang seumur dan sepersekawanan adalah bagian dari pola hubungan yang diajarkan para pendahulu, nenek moyang kita.
Dunia boleh berubah, kemacetan boleh membuat orang-orang marah di jalan raya, tapi tentu tidak dengan kesopanan kita. Budaya yang arif itu bahkan di masukkan dalam dasar negara Indonesia, sila kedua dari Pancasila. Di terjemahkan lagi dalam Undang-undang, bahwa seseorang yang bahkan terbukti bersalahpun tetap harus kita hormati, setidaknya sebagai manusia dan mahluk Tuhan.
Lalu bagimana dengan fenomena belakangan ini, yang banyak orang keluhkan dengan banyaknya generasi yang kurang beretika?
Ada banyak kemungkinan soal itu. Selain arus zaman dan pengaruhnya yang tidak mampu ditahan oleh budaya lokal kita, juga kemungkinan besar adalah salah kita sendiri. Sebuah pepatah mengatakan, Generasi yang baik adalah yang Kualitasnya lebih baik dari Generasi sebelumnya. Kalau kondisinya demikian, bisa dikatakan suatu generasi telah gagal mendidik generasinya.
Globalisasi memang membawa dampak yang besar dalam kehidupan manusia. Seandainya budaya global yang di anut adalah milik bangsa kita, kita tak akan bersusah payah melawannya. Sayangnya, paket dari globalisasi ini budaya sebuah bangsa yang memiliki peran dominan dalam berbagai hal, entah teknologi, keilmuan, fashion maunpun berbagai karya seni lainya.
Budaya asing masuk, dan kita tak punya daya melawan. Masuk di linimasa, hingat bingar, tanpa tau sejatinya budaya mana yang milik kita.
Kira-kira itu gambaran sederhana dari adanya dampak globalisasi yang saat ini kita rasakan bersama. Lalu kita sibuk dengan pengaruh baru, dunia baru, mainan baru, dan tidak lagi menganggap penting kearifan lokal yang kita miliki, termasuk unggah- ungguh itu tadi.
Sebagai orang lokal yang kebetulan bersuku Jawa, saya sempat menerima beberapa pelajaran tentang relasi sosial dari eyang, Bapak, Ibu dan Saudara-saudara saya bahkan tetangga. Konsep Unggah ungguh itu sebetulnya berlaku general, baik bersosial, berpolitik, berbisnis maupun aktivitas lainya.
Contoh kecil misalnya, soal cara membangun komunikasi sesama manusia. Di Negara kita ada beberapa jenis budaya tentang peran seseorang berdasarkan jenis kelaminya. Anggaplah Patrilenal dan Matrilineal. Secara umum, Patrilineal lebih banyak digunakan oleh beberapa suku di Tanah air, salah satunya Suku Jawa.