Pernah kamu tak membalas sapaan sahabatmu yang dengan susah payah menghubungimu dengan sebuah pesan? Kalo aku sering. Sering mendapat perlakuan begitu. Saat ketemu, dia bilang, "Maaf aku nggak punya pulsa."
Pernah kamu saat perlu sekali, dan kamu hubungi orang-orang yang kamu pernah tanami jasa? Sekedar bertanya kabar dan meminta bantuan, lalu dia tak membalas pesanmu? Saat ketemu, juga bilang, "Maaf, aku nggak punya pulsa."
Selain yang dua tadi, mungkin beberapa kejadian lain juga terjadi. Bisa dengan saudara, keluarga, teman, atau orang spesial lainya.
Dalam hati sering kita mengumpat, yang dalam ungkapan bahasa sehari-hari kita gambarkan sebagai hewan berkaki empat. Pernah, bahkan sering aku diperlakukan begitu. Oh memang susah ya hanya sekedar membeli pulsa? Atau mencari gratisan di layanan pesan? Padahal kulihat dia aktif membalas sana-sini, bahkan chating-chating tak penting. Itu semua persoalanya di kuota. Kamu kuat membeli kuota, tapi menjadi fakir dengan pulsa.
Baiklah. Sebagai penerima manfaat gadget, kita menjadi mengabaikan segala sesuatu yang tak ada hubunganya dengan kuota. Bahkan, sebagian atau keseluruhan hidup kita ditentukan dari kuota. Kuota memang segala-galanya. Iya segala-galanya.
Sekian banyak urusan kita mangkrak karena kita tak punya kuota. Semua jaringan terputus saat kita tak punya kuota. Fungsi sosial kita mati, saat kita tak punya kuota. Bahkan sekali itu juga mendadak hidup kita terhenti hanya karena kita tak punya kuota.
Begitulah zaman sudah membawa manusia pada era digital yang dikomersilkan secara besar-besaran. Arus modernisasi yang tak punya toleransi ini membuat orang lalu berpikir bahwa yang penting itu yang umum. Kalo unumnya chating, semua urusan yang hubungannya dengan SMS diabaikan.
Tragisnya, kalau itu hubungannya dengan orang-orang terdekat kita.
Seorang ibu pernah mengaku sulit menghubungi putranya di kota, karena dia hanya punya HP butut yang belum suport untuk dipasang Line, WA, BBM, atau jenis media sosial lainya. Setiap kali SMS tak dibalas. Kalau ditelpon, tak diangkat. Kalaupun diangkat, sambil cekikikan membaca kultwit pacar-pacarnya.
Cerita ini bisa fiktif, mungkin juga nyata. Tapi poinnya bukan pada siapa pelaku, tapi apa pesannya. Di masa sekarang yang semuanya ditentukan oleh kuota sehingga semua hal penting di luar itu dinomorsekiankan. Duh, kebangetan bukan?
Sebagai manusia yang ditakdirkan berelasi, bersosial, seharusnya itu tak perlu terjadi. Membangun hubungan dengan pihak-pihak yang mengandung makna dalam hidup kita sangatlah penting. Jangan sampai ada bahasa, kalau dihubungi, ada perlu apa. Kalau ditanya kabar, ditanya kenapa.