Kita ini (tepatnya saya) sering tak bisa adil memperlakukan diri sendiri. Ada kalanya pemikiran, perlakuan dan keduanya.
Ketidakadilan yang kita sering lakukan, setidaknya menyangkut nasib sendiri. Pengkambinghitaman terhadap segala sesuatu, yang sebenarnya karena ketidakmampuan kita melakukan sesuatu, menjadi pembelaan mutlak.
Kita mungkin pernah, bahkan sering membuat alasan-alasan yang tak essensial. Misalnya saat gagal melakukan segala sesuatu, ada saja pembelaanya. Ya kurang ini lah, itu lah, susah lah, kurang fasilitas lah, tak didukung lah, atau lah lah yang lain. Sebenarnya kalau kita mau jujur, bisa jadi soalnya karena kemalasan dan kurangnya etos kerja. Lantas, seribu alasan dibuat, dan kita seakan-akan dimaklumi dengan kegagalan tadi.
Kejadian itu bisa jadi memang benar kenyatanya. Tapi yang lebih sering terjadi adl karena kita pandai membuat alasan. Celakanya, alasan manis itu tertanam menjadi mindset, yang kemudian menjadi pola sehari- hari. Setelah pola terbentuk dan berulang-ulang, menjadikan kita seseorang yang mudah memaklumi sebuah kegagalan dan 'kekurangberhasilan'.
Sebagai manusia merdeka semestinya kita pandai membuat definisi untuk diri kita sendiri. Karena dampak dari alasan-alasan dan pembelaan tadi adalah kegagalan, maka seharusnya kita belajar jujur. Jujur terhadap ketidakmaksimalan. Jujur terhadap kemalasan, kekurangan, dan kekurangmampuan kita menyelesaikan segala sesuatu.
Orang yang pandai membuat kesadaran atas dirinya sendiri, akan terus membuat solusi. Dengan kita jujur bahwa persoalnya bukan di sebab, tapi di kita, akan ada upaya menperbaiki kesalahan, bukan menerima kenyataan dengan dalih takdir dan nasib.
Bukankah nasib bisa dimanipulasi?
Nasibnya seseorang secara konsep adalah hasil karya dirinya, bukan sesuatu yang ditentukan Tuhannya. Karena nasib bersifat ketergantungan terhadap usaha, maka keadilan terhadap diri sendiri menjadi syarat bagi seseorang untuk berubah. Iya, karena hidup harus berubah.
Selain itu, efek dari tidak pandainya kita mengakui sekian kekurangan kita, adalah tidak pernahnya kita menjalani tugas dengan sebenar-benarnya, mencapai titik maksimal seseorang. Dengan alasan itu kita semakin tidak yakin dengan diri sendiri, dan memahami setiap halangan sumbernya bukan dari kita. Parahnya lagi, ketidakmampuan kita diubah menjadi kesombongan, dan kebohongan.Â
Katakanlah seseorang yang gagal diterima kerja. Masalahnya karena dia tak layak, belum cukup record. Tapi dia ceritakan bahwa kegagalanya bekerja di sebuah perusahaan adalah karena dia menolak. Dia tolak tawaran itu dan bla bla bla.
Sebagai manusia yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu memang susah. Katakanlah seorang yang pernah hebat, akan terus menjadi hebat meskipun sebenarnya kehebatanya di masa lalu. Semua kejadian yang dia alami, kegagalan yang dia derita, akan dialamatkan kepada faktor lain. Bukan faktor karena dirinya yang sebenarnya tak mampu.
Kecenderungan begini sering kita lakukan setiap hari.Â