Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU)-yang dilangsungkan minggu (2/11/2014)-dalam salah satu kesimpulan dan rekomendasinya; menyatakan bahwa : NKRI sebagai hasil kesepakatan para pendiri bangsa (termasuk para ulama) merupakan bentuk final bangsa ini, yang harus terus dipertahankan! Ya, nurani kita kembali disiram es, dingin, sejuk dan menentramkan.
Lagi, di paruh seput-nya nasionalisme, NKRI, dan Pancasilasebagai philosophische grondslag (dasar filosofi negara); dianggap tidak sakti lagi, tidak mampu menjawab kebutuhan zaman, dan hendak “dicoba” dengan dasar lain–NU, sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di nusantara–kembali mencuat, bangkit tegak menegaskan diri, tetap bergeming, setia kepada cita-cita luhur bangsa.
Peran NU
31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), ditengarai sebagai cikal berdirinya sebuah oganisasi Islam, yang kemudian kesohor sebagai Nahdlatul Ulama (NU) atau kebangkitan ulama.
Tirani kolonialisme yang terus mengepres pundak rakyat pribumi, menggerus mental; dan membuahkan : kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan; memerankan causa prima (penyebab utama) berseminya benih-benih jiwa pemberontak. Selain menempuh jalan konfrontasi fisik frontal (baca : angkat senjata), para kaum terpelajar (termasuk pesantren), mulai sampai pada babak konsientisasi. Kesadaran yang menyentak, membuka mata mereka leba-lebar, bahwa perjuangan juga harus di kayunkan melangkaui ranah : daya pikir! Dan (lalu), terbitlah pergerakan, pendidikan dan organisasi.
Berangkat dari narasi untuk menghimpun episentrum kekuatan dan kesaktian olah pikir atas tokoh agama, kaum terpelajar, cendekiawan, alim ulama, kyai; organisasi yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari ini, makin membesar, menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan. Peristiwa fenomenal yang melekat erat di benak publik adalah seruan lantang “fatwa jihad,” bukan untuk (semata-mata) kemerdekaan Islam saja, namun juga untuk mempertahankan kemerdekaan negara-bangsa Indonesia. Sebentar lagi kita peringati, ya, perang habis-habisan, di Surabaya, 10 November.
Bhineka Tunggal Ika
“Aku bersemboyan, biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama ditamansariIndonesia, (Soekarno, Pidato HUT Proklamasi, 1964).
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, menjadi tonggak menjulang di tancapkan-nya sejarah baru, mulai berangkat dan bergeraknya gerbong kebangsaan Indonesia.
Sebelum di tabuhnya gong proklamasi–nusantara, yang gemah ripah loh jinawi dengan pluralitas–telah memantik munculnya perkumpulan/himpunan, walau (di awal) masih mengatasnamakan kedaerahan/suku. Sebut saja : jong jawa, jong sumatra bond, jong celebes, jong ambon, jong minahasa, dan lain sebagainya.
Suku bangsa yang berjumlah 1.340, pulau-pulau yang terbilang 17.504 (sebagian belum sempat di beri nama), bahasa asli (daerah) yang tercatat 546; belum lagi berbagai adat, budaya, kepercayaan; sudah bisa membuat seorang pemimpin dan pemikir maha ulung pun, menjadi panas dingin, mengernyitkan dahi, stres berat!
Namun, kembali, karena para pendiri bangsa ini, sejak usia belia sudah menjadi pelahap literasi yang rakus, pelaku pergerakan, tatapan visi yang maha luas, terasahnya ruh negarawan untuk ngemong semua golongan; dan (tentu saja) berkat tuntunan terang Tuhan–maka ketika dibenturkan dengan realitas bangsa yang sangat kompleks–merekaakhirnya bisa merumuskan/mengkonsep stelsel (walau melalui tanding argumen, perdebatan yang sangat menyengat, berbobot dan berestetika).
Lahirlah Pancasila, NKRI, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika; menjadi “empat kesepakatan dasar,”–yang hingga detik ini–sudah teruji zaman, masih tegak gagah perkasa, mengayomi segenap tumpah darah dan kekayaan keragaman-nya. Kedalaman filosofi konsep yang sangat jitu, bukan sembarangan.
Mencari Negarawan
Aura panas bara api, paska perang tanding pilpres silam–yangseharusnya sudah surut–dan berbalikmenjadi “bahan bakar”untuk melaju bekerja membangun bangsa;takah-takahnya, belum sampai ke ujung titikpengendapan, menyisakan seonggok api dalam sekam.
Syahwat kesumat untuk memukul balik kubu sebelah, norak telanjang di depan hidung rakyat; termanifestasi dalam : RUU Pilkada lewat DPRD, UUMD3, penetapan secara paket semua pimpinan (DPR, MPR dan alat kelengkapan dewan) zonder memberi ceruk nafas kepada “sing liyan” menjadi pembenar syak-wasangka publik, bahwa “ruh negarawan” mulai tercerabut, keluar ke angkasa, diganti masuknya “ruh kurawa,” banyak-banyakan dan menang-menangan. Menyedihkan!
Spirit gotong royong, kekeluargaan, tolong-menolong, musyawarah mufakat; yang merupakan ciri khas, hasil perumusan “saripati”penggalian dan peracikan adat, budaya, dan nilai-nilai luhur nusantara; disepak jauh-jauh ke parit pinggir jalan. Tak ayal, kubu yang merasa digencet terus-menerus, diganjal sepanjang jalan, akhirnya meradang, murka; berdirilah sebuah konstruksi dari akumulasi perlawanan, yaitu : DPR tandingan.
Mengelola keberagaman tidak ada yang mudah. Para pendiri bangsa, para begawan besar di Nahdlatul Ulama, pada “posisi ketika itu,”sangatlah mudah untuk menuruti syahwat pribadi/golongan, demi kepentingan sesaat bin sempit. Mereka berlimpah kapasitas dan kapabilitas, diberi amanah dan mandat oleh rakyat, dilegitimasi oleh konstitusi; pendek kata–merekadiberi hak seluas-luasnya–untuk membuat abang-ijo wajah negara-bangsa ini (jauh lebih berkuasa, jauh lebih mumpuni, dari para anggota dewan saat ini), namun, sekali lagi, mereka tidak melakukan.
Kenapa? Karena mereka punya visi yang maha besar terhadap peradaban bangsa ini selanjutnya. Ruh negarawan terus diberi tempat senyaman-nyaman-nya, hingga krasan singgah dan menetap. Walau “baru di atas angin,” mereka tidak takabur dan lamur. Memutuskan setiap kebijakan dengan literasi yang kuat, namun tetap dalam bening nurani, jernih pikir, arif, dan ngemong sing liyan, NKRI adalah salah satu buahnya.
Kesimpulan dan tekad bulat, bahwa NKRI itu final, adalah komitmen luar biasa, yang ditorehkan sangat dalam, terhadap perjalanan sejarah. Memunculkan konsep NKRI dan terus mempertahankan-nya, tentu lebih susah, dari pada mengelola 560 anggota DPR (dan 132 dari DPD) yang ada di Senayan. Mari belajar (kembali), menjadi negarawan!
(*) Penulis : Agung Pramudyanto
Pengamat dan Pemerhati Sosial Politik Kemasyarakatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H