Pertanyaannya, siapakah yang salah? Aturannya? Sistemnya? Penyelenggara dan pengawasnya? Atau pesertanya? Yang paling bersalah adalah yang menerima uangnya, yakni masyarakat atau calon pemilih. Mau bagaimanapun calon anggota legislatif terjebak oleh keadaan yang akan menjatuhkan mereka pada kekalahan apabila tidak memberikan sejumlah imbalan atas suara yang diberikan dan masyarakatlah yang benar-benar turut andil dalam kondisi tersebut.
Terkadang faktor ekonomi menjadi alasan utama bagi mereka, namun tak sepantasnya menggadaikan lima tahun mereka, demi sejumlah uang yang bahkan bisa habis dalam hitungan hari. Tidak jarang mereka memegang prinsip, "Pilih siapa yang paling banyak memberi". Alhasil mereka memilih orang yang kaya, bukan yang berdaya.
Masyarakat yang demikian biasanya bukan hanya terjebak oleh kesulitan ekonomi namun juga kurang pemahaman dan edukasi, mereka sering tidak menyadari bahwa pilihan mereka pada saat dibilik suara akan menentukan nasib mereka lima tahun yang akan datang. Menjadi tugas pemerintah dan kita semua untuk mengedukasi masyarakat agar tidak jatuh kedalam pilihan yang salah hanya karena sejumlah dana. Pengawasan, tindakan, serta sanksi yang tegas untuk para calon legislatif yang bertindak curang juga harus terwujud. Sebagai bukti nyata Reformasi, Pemilu harus tetap dalam asasnya, yakni “Luber dan Jurdil”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H