Apa itu Compliance Risk Management (CRM) ?
Compliance Risk Management (CRM) adalah kerangka kerja yang diterapkan dalam organisasi untuk mengidentifikasi, mengelola, dan memitigasi risiko ketidakpatuhan terhadap regulasi dan hukum. Dalam organisasi modern, CRM berfungsi sebagai alat strategis untuk melindungi perusahaan dari dampak hukum, finansial, atau reputasi yang diakibatkan oleh ketidakpatuhan. Namun, memahami efektivitas CRM memerlukan pendekatan yang lebih mendalam. Dengan mengevaluasi melalui lensa pemikiran Aristoteles, René Descartes, dan John Nash, kita dapat memperoleh wawasan mengenai bagaimana konsep etika, skeptisisme rasional, dan teori permainan berperan dalam membentuk strategi manajemen risiko kepatuhan yang lebih komprehensif.
Pemikiran Aristoteles tentang Etika dan CRM
Etika dalam CRM
Aristoteles, salah satu filsuf besar Yunani, mendasarkan konsep etikanya pada areté atau kebajikan, yang merupakan kondisi moral optimal individu dan keseimbangan antara dua ekstrem, yaitu kelebihan dan kekurangan. Bagi Aristoteles, inti dari kebajikan adalah menemukan "mean" (keseimbangan yang tepat).Â
Dalam CRM, pemikiran ini relevan dalam memastikan bahwa kepatuhan organisasi tidak hanya mengikuti aturan secara kaku, tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai etika yang mendasarinya. Kebijakan kepatuhan, menurut Aristoteles, bukan hanya instrumen teknis untuk memastikan bahwa sebuah organisasi tidak melanggar hukum, tetapi juga harus mencerminkan karakter moral dan komitmen terhadap kebaikan.
Aristoteles juga menekankan pentingnya phronesis (kebijaksanaan praktis), yaitu kemampuan untuk memahami konteks yang berbeda dalam menjalankan kebijakan kepatuhan secara bijak. Implementasi CRM tidak boleh menjadi pendekatan satu ukuran untuk semua, melainkan harus disesuaikan dengan situasi yang berbeda, menggunakan pertimbangan yang matang agar menghasilkan tindakan yang benar.
Mengapa Etika Penting?
Dari sudut pandang Aristoteles, CRM yang hanya fokus pada penerapan aturan dan sanksi kehilangan elemen paling mendasar, yaitu moralitas individu. Orang yang mematuhi aturan hanya karena takut pada hukuman tidaklah mencapai tingkatan tertinggi dari perilaku yang baik. Bagi Aristoteles, tindakan etis harus datang dari niat yang baik dan kesadaran akan nilai intrinsik dari tindakan tersebut.Â
Dalam dunia korporasi, penerapan CRM yang tidak didasari oleh etika dapat menyebabkan kepatuhan yang superfisial. Meskipun organisasi mungkin terlihat mematuhi aturan dari luar, mereka tidak menciptakan budaya yang benar-benar etis dan mendukung pertumbuhan moral karyawan mereka.
Konsep eudaimonia, atau kebahagiaan tertinggi menurut Aristoteles, dicapai ketika seseorang bertindak berdasarkan kebajikan. Dalam konteks organisasi, kebahagiaan ini dapat dipahami sebagai keberhasilan perusahaan yang tidak hanya menguntungkan dari sisi finansial tetapi juga mendukung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan integritas. CRM yang didasarkan pada etika bertujuan untuk mencapai eudaimonia bagi semua pihak yang terlibat—baik perusahaan maupun masyarakat luas.
Implementasi Etika dalam CRM
Agar CRM mencerminkan pemikiran Aristoteles, organisasi harus berupaya membangun karakter moral yang kuat dalam perusahaan melalui pengembangan budaya etis. Ini bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan etika yang komprehensif kepada karyawan, menanamkan pentingnya virtue ethics (etika kebajikan), serta menunjukkan kepemimpinan yang konsisten dalam mempraktikkan nilai-nilai moral.Â
Kepemimpinan dalam organisasi memainkan peran kunci dalam membentuk perilaku etis, di mana manajer dan eksekutif harus menjadi contoh dalam menegakkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas.