Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor

Ormas yang Lupa Tujuan, Ingatnya Cuma THR

22 Maret 2025   11:46 Diperbarui: 22 Maret 2025   11:46 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ormas zaman now: Beratribut rapi, berlogo gagah, tapi bisnis utamanya 'Tarik THR Express' | Image: AFM Ilustrator

"Premanisme yang terorganisir bukanlah kekuatan, melainkan seni menakut-nakuti. Tapi, kita adalah bangsa yang kuat, bukan bangsa yang takut."

Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, masyarakatnya begitu guyub rukun. Sampai-sampai, solidaritas di antara mereka tak lagi cukup dengan senyum sapa, tapi harus dibuktikan dengan amplop berisi THR. Eh, tunggu... itu solidaritas atau pemalakan?

Dulu, ormas dibentuk untuk menjadi penjaga nilai-nilai sosial, moral, dan budaya. Kini, mereka bertransformasi menjadi penjaga "ketertiban finansial" para pelaku usaha. Mungkin ini yang disebut evolusi sosial versi lokal: dari idealisme menjadi kapitalisme terselubung.

Bayangkan, ormas yang tadinya ibarat malaikat penjaga ketertiban, kini berubah jadi "malaikat maut" bagi kantong pengusaha. Yang ditagih bukan dosa, tapi THR. Lucunya, yang merasa berdosa justru yang nggak kasih amplop. Ya, begitulah hingga banyak orang yang merasa herman, eh... heran !

Mungkin, ini adalah bentuk "gotong royong" era modern. Bedanya, yang bergotong itu pengusaha, yang royong itu ormas. Hasilnya? THR dibagi rata, tapi ketakutan ditanggung sendiri.

Kalau ormas sudah beratribut, berlogo, bahkan punya "invoice" untuk pungli, apakah ini yang disebut startup lokal berbasis ketakutan? Sebuah terobosan di tengah reformasi birokrasi yang setengah hati.

Atau mungkin ini bentuk inovasi ekonomi kreatif? Startup berbasis premanisme, dengan tagline: "Kami tidak jual jasa, tapi kami tahu di mana tempat usaha Anda."

Saking kreatifnya, ormas-ormas ini bisa bikin kita nostalgia ke era penjajahan, di mana "upeti" jadi kewajiban rakyat jelata. Bedanya, dulu upeti untuk penjajah asing. Sekarang, untuk "penjajah domestik" beratribut ormas.

Ormas zaman now memang paham tren. Kalau influencer jualan endorse, mereka jualan "rasa aman". Kalau nggak bayar, bisa viral di dunia nyata, bukan di media sosial.

Coba bayangkan kalau ormas ini bikin aplikasi kayak Gojek. Namanya "PremanGo". Fiturnya lengkap: "Tarik THR Express", "Pungli On Demand", dan paket premium "Intimidasi Plus Plus". Promo spesial: Gratis teror untuk lima pengusaha pertama!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun