Keparahan mengukur tingkat dampak yang mungkin dirasakan oleh pelanggan atau pengguna akhir jika kegagalan terjadi. Dampaknya bisa berupa gangguan kecil, masalah besar, atau bahkan risiko keselamatan serius. Skor diberikan dari 1 hingga 10, di mana 1 berarti dampaknya sangat kecil, sedangkan 10 berarti dampak kritis atau bencana.Â
2. Occurrence (kemungkinan terjadi): Seberapa besar peluang kegagalan tersebut terjadi.
Frekuensi terjadi mengukur seberapa sering potensi kegagalan ini mungkin terjadi selama masa pakai sistem, produk, atau proses. Skor diberikan dari 1 hingga 10, dengan 1 berarti kejadian sangat jarang, dan 10 berarti hampir pasti akan terjadi.Â
3. Detection (kemampuan deteksi): Seberapa baik kegagalan dapat dideteksi sebelum menyebabkan dampak.
Kemampuan deteksi mengukur seberapa besar kemungkinan kegagalan dapat dikenali atau dicegah sebelum terjadi. Skor diberikan dari 1 hingga 10, di mana 1 berarti kegagalan sangat mudah terdeteksi. Sedangkan, 10 berarti hampir mustahil untuk dideteksi sebelum terjadi.Â
Ketiga elemen ini kemudian dikombinasikan menjadi skor Risk Priority Number (RPN), yang digunakan untuk memprioritaskan tindakan mitigasi.
Tim yang melakukan FMEA harus mencapai kesepakatan dalam memberikan skor untuk setiap kriteria ini pada setiap mode kegagalan. Meskipun proses FMEA bersifat kualitatif, penggunaan data yang tersedia sangat penting untuk mendukung penilaian dan menghindari bias.Â
Tujuan utama FMEA adalah memprioritaskan risiko dan mengembangkan strategi efektif untuk mengelolanya. Dengan pemahaman ini, perusahaan dapat lebih proaktif mencegah masalah dan memastikan operasional yang lebih aman serta efisien.Â
Contoh Penerapan Failure Mode and Effects Analysis
Misalnya, sebuah pabrik manufaktur elektronik ingin memastikan kualitas produk mereka tetap terjaga. Dalam proses produksi, salah satu potensi kegagalan adalah soldering yang buruk pada komponen elektronik. Melalui FMEA, tim dapat:
* Mengidentifikasi kegagalan. Sambungan solder yang tidak kuat.
* Menganalisis dampaknya, misalnya kerusakan pada produk yang mengarah pada komplain pelanggan.
* Menilai kemungkinan untuk mengukur frekuensi terjadinya soldering buruk berdasarkan data historis.
* Menentukan kemampuan deteksi. Mengevaluasi apakah inspeksi manual atau otomatis dapat mendeteksi masalah sebelum produk dikirim.
Sebagai contoh nyata, perusahaan XYZ Electronics pada tahun 2021 berhasil menurunkan tingkat produk cacat sebesar 25% setelah menerapkan FMEA dan mengganti sistem inspeksi manual dengan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI).