Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Koruptor, Atlet Lari Cepat Saat Ketemu Pasal

9 Desember 2024   16:31 Diperbarui: 9 Desember 2024   16:32 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Korupsi itu seperti kanker; jika tak diobati, ia menyebar. Tapi anehnya, banyak yang justru pelihara penyakit ini seperti hobi."

Di sebuah seminar antikorupsi, seorang pembicara membuka dengan pertanyaan reflektif, “Apa itu korupsi?” Dari belakang, seorang bapak tua menjawab sambil mengunyah permen, “Korupsi itu, Pak, kayak api unggun di tengah hutan. Awalnya hangat, lama-lama yang meniup bara pun ikut terbakar.”

Semua tertawa, kecuali seorang pejabat di barisan depan. Wajahnya tegang, mungkin karena merasa hangat juga.

Pembicara melanjutkan dengan nada serius. “Korupsi, teman-teman, adalah kanker bangsa. Anehnya, bukannya mencari obat, mereka malah pelihara penyakitnya. Mungkin karena perawatnya dapat komisi per pasien.”

Semua kembali tertawa, termasuk pejabat tadi. Tawa kecil, lebih mirip senyum kecut.

Seorang peserta yang terkenal kritis tiba-tiba angkat tangan. “Pak, kalau korupsi itu kanker, kenapa obatnya malah dikunci di lemari, dan yang pegang kuncinya justru yang sakit?”

Seketika ruangan hening. Lalu tawa pecah lagi. Bahkan pembicara tak kuasa menahan senyum.

“Benar juga, Mas,” jawab pembicara. “Ibaratnya, ini seperti permainan layangan. Anggaran diterbangkan tinggi-tinggi, talinya dipegang yang punya jabatan. Kita yang di bawah cuma bisa tepuk tangan sambil menunggu layangannya nyangkut di pohon.”

Pejabat di depan terbatuk kecil. Entah karena tersindir atau kaget.

Pembicara melanjutkan dengan lebih santai, “Pidato antikorupsi itu, teman-teman, sering kali seperti iklan. Janjinya manis, tapi yang kita dapat selalu rasa pahit.”

Semua tergelak, kecuali pejabat tadi yang wajahnya mulai memerah. Tapi pembicara tidak berhenti.

“Korupsi di negeri ini itu, teman-teman, seperti mesin cuci koin. Muter-muter terus, nggak habis-habis, ujung-ujungnya balik lagi ke kantong yang sama. Dan lucunya, yang muter itu kan anggaran rakyat. Jadi kita bayar, kita juga yang bingung.”

Tawa membahana. Seorang peserta muda nyeletuk, “Makanya, Pak, katanya korupsi itu kanker, tapi kenapa banyak yang jadi apoteker abal-abal daripada dokter beneran?”

Pembicara tertawa, lalu menjawab, “Iya, betul sekali! Koruptor itu kayak ninja di film murahan. Jago ngilang, tapi jejaknya selalu ketahuan pas lampu studio mati. Oh ya, koruptor juga seperti atlit lari cepat yang tak terkejar, terutama saat ketemu pasal-pasal!”

Sontak ruangan riuh. Kali ini bahkan pejabat tadi ikut tertawa, entah tulus atau sekadar pura-pura.

Akhirnya, pembicara menutup sesi dengan kalimat penuh sindiran halus. “Korupsi itu, teman-teman, memang ilegal. Tapi kok rasanya kayak warisan keluarga, ya? Pindahnya turun-temurun, nggak putus generasi.”

Ruangan meledak oleh tawa. Bahkan pejabat tadi, meskipun terlihat keringat dingin, tampak tertawa kecil. Dan di luar ruangan, peserta-peserta yang hadir tak henti membahas candaan itu dengan satu kesimpulan: humor memang lebih tajam daripada pidato.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun