“Korupsi di negeri ini itu, teman-teman, seperti mesin cuci koin. Muter-muter terus, nggak habis-habis, ujung-ujungnya balik lagi ke kantong yang sama. Dan lucunya, yang muter itu kan anggaran rakyat. Jadi kita bayar, kita juga yang bingung.”
Tawa membahana. Seorang peserta muda nyeletuk, “Makanya, Pak, katanya korupsi itu kanker, tapi kenapa banyak yang jadi apoteker abal-abal daripada dokter beneran?”
Pembicara tertawa, lalu menjawab, “Iya, betul sekali! Koruptor itu kayak ninja di film murahan. Jago ngilang, tapi jejaknya selalu ketahuan pas lampu studio mati. Oh ya, koruptor juga seperti atlit lari cepat yang tak terkejar, terutama saat ketemu pasal-pasal!”
Sontak ruangan riuh. Kali ini bahkan pejabat tadi ikut tertawa, entah tulus atau sekadar pura-pura.
Akhirnya, pembicara menutup sesi dengan kalimat penuh sindiran halus. “Korupsi itu, teman-teman, memang ilegal. Tapi kok rasanya kayak warisan keluarga, ya? Pindahnya turun-temurun, nggak putus generasi.”
Ruangan meledak oleh tawa. Bahkan pejabat tadi, meskipun terlihat keringat dingin, tampak tertawa kecil. Dan di luar ruangan, peserta-peserta yang hadir tak henti membahas candaan itu dengan satu kesimpulan: humor memang lebih tajam daripada pidato.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H