"Cancel culture adalah cerminan dari masyarakat kita. Apakah kita ingin melihat refleksi yang konstruktif atau destruktif, itu pilihan kita."
Ketika nama Miftah Maulana (Gus Miftah) kembali menjadi pusat perhatian publik karena komentar-komentar kontroversialnya, diskusi tentang fenomena cancel culture di Indonesia pun memanas. Fenomena ini, yang sering kali dianggap sebagai senjata untuk menghukum tokoh publik, kembali dipertanyakan relevansi dan dampaknya terhadap masyarakat.
Tak hanya menjadi perbincangan di media sosial, kasus ini juga disorot oleh media internasional, termasuk Singapura. Kasus ini juga memicu komentar menohok dari Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang menyampaikan, "Ini satu contoh bahwa pengangkuhan, sombong, itu kadang-kadang bukan saja di kalangan orang-orang yang tak tahu agama, (tetapi juga) orang yang paham agama..." (cnbcindonesia.com, 6/12/2024)
Tak hanya itu, reaksi masyarakat juga tak kalah ramainya. Setidaknya ada 11 petisi terkait kegaduhan ini yang termuat di change.org. Salah satu petisi "Copot Gus Miftah dari Jabatan Utusan Khusus Presiden" bahkan menembus angka 318 ribu pendukung lebih.
Apa Itu Cancel Culture?
Menurut Kamus Merriam-Webster, cancel culture didefinisikan sebagai tindakan meng-cancel secara kolektif untuk menunjukkan ketidaksetujuan dan memberikan tekanan sosial. Dalam konteks ini, "cancel" berarti menarik dukungan terhadap seseorang atau sesuatu, terutama di platform media sosial.
Cancel culture adalah fenomena sosial di mana individu atau kelompok memboikot seseorang karena perkataan atau tindakan yang dianggap kontroversial atau tidak pantas. Fenomena ini berkembang pesat di era digital, di mana media sosial menjadi arena utama untuk menyuarakan ketidaksetujuan. Namun, cancel culture sering kali memunculkan pertanyaan: apakah ini bentuk keadilan sosial atau justru mobbing (tindakan kekerasan psikologis)Â modern yang merugikan?
Di kasus Miftah, kontroversi ini bermula dari pernyataannya yang dianggap oleh sebagian kelompok sebagai tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Reaksi yang muncul begitu cepat: dari kritik keras di media sosial hingga munculnya 11 petisi online yang menuntut pencopotan Miftah dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya tekanan publik dalam membentuk opini dan keputusan politik.
Mengapa Cancel Culture Dapat Berbahaya?
Fenomena ini bukan tanpa konsekuensi. Di satu sisi, cancel culture yang mulai dikenal sejak tahun 2014, memberikan ruang bagi masyarakat untuk menuntut akuntabilitas tokoh publik. Namun, di sisi lain, ia sering kali menjadi alat penghukuman tanpa ruang dialog dan refleksi.