Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Miftah Maulana dan Fenomena Cancel Culture, Sebuah Pelajaran Berharga dari Kontroversi Publik

8 Desember 2024   21:14 Diperbarui: 8 Desember 2024   21:22 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cancel culture: Pedang bermata dua yang dapat melukai maupun menyembuhkan.|Image: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko via KOMPAS

"Cancel culture adalah cerminan dari masyarakat kita. Apakah kita ingin melihat refleksi yang konstruktif atau destruktif, itu pilihan kita."

Ketika nama Miftah Maulana (Gus Miftah) kembali menjadi pusat perhatian publik karena komentar-komentar kontroversialnya, diskusi tentang fenomena cancel culture di Indonesia pun memanas. Fenomena ini, yang sering kali dianggap sebagai senjata untuk menghukum tokoh publik, kembali dipertanyakan relevansi dan dampaknya terhadap masyarakat.

Tak hanya menjadi perbincangan di media sosial, kasus ini juga disorot oleh media internasional, termasuk Singapura. Kasus ini juga memicu komentar menohok dari Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang menyampaikan, "Ini satu contoh bahwa pengangkuhan, sombong, itu kadang-kadang bukan saja di kalangan orang-orang yang tak tahu agama, (tetapi juga) orang yang paham agama..." (cnbcindonesia.com, 6/12/2024)

Tak hanya itu, reaksi masyarakat juga tak kalah ramainya. Setidaknya ada 11 petisi terkait kegaduhan ini yang termuat di change.org. Salah satu petisi "Copot Gus Miftah dari Jabatan Utusan Khusus Presiden" bahkan menembus angka 318 ribu pendukung lebih.

Apa Itu Cancel Culture?

Menurut Kamus Merriam-Webster, cancel culture didefinisikan sebagai tindakan meng-cancel secara kolektif untuk menunjukkan ketidaksetujuan dan memberikan tekanan sosial. Dalam konteks ini, "cancel" berarti menarik dukungan terhadap seseorang atau sesuatu, terutama di platform media sosial.

Cancel culture adalah fenomena sosial di mana individu atau kelompok memboikot seseorang karena perkataan atau tindakan yang dianggap kontroversial atau tidak pantas. Fenomena ini berkembang pesat di era digital, di mana media sosial menjadi arena utama untuk menyuarakan ketidaksetujuan. Namun, cancel culture sering kali memunculkan pertanyaan: apakah ini bentuk keadilan sosial atau justru mobbing (tindakan kekerasan psikologis) modern yang merugikan?

Di kasus Miftah, kontroversi ini bermula dari pernyataannya yang dianggap oleh sebagian kelompok sebagai tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Reaksi yang muncul begitu cepat: dari kritik keras di media sosial hingga munculnya 11 petisi online yang menuntut pencopotan Miftah dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya tekanan publik dalam membentuk opini dan keputusan politik.

Mengapa Cancel Culture Dapat Berbahaya?

Fenomena ini bukan tanpa konsekuensi. Di satu sisi, cancel culture yang mulai dikenal sejak tahun 2014, memberikan ruang bagi masyarakat untuk menuntut akuntabilitas tokoh publik. Namun, di sisi lain, ia sering kali menjadi alat penghukuman tanpa ruang dialog dan refleksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun