Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Amanah yang Berbeda Zaman

28 November 2024   15:07 Diperbarui: 28 November 2024   15:14 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin sejati, tangisnya adalah doa, bukan sorak kemenangan. Amanah adalah beban suci, bukan mahkota duniawi.|Image: pexels.com

"Pemimpin besar adalah mereka yang menangis saat diberi amanah, bukan yang berpesta dalam euforia kemenangan."

Dulu, kala debu sahara jadi saksi,
Di bawah bendera tauhid yang suci,
Para pemimpin menangis penuh hening,
Saat amanah tiba mengetuk pintu hatinya yang genting.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," seru mereka,
Seolah dunia berubah menjadi beban yang tak terkira.

Abu Bakar as-Shiddiq, Sang Siddiqul Akbar,
Gemetar menerima takhta yang tak pernah diudar.
Umar bin Khattab, singa yang tegar,
Menangis lirih di antara doa yang menggetar.
Dan Umar bin Abdul Aziz, permata yang jernih,
Memanggil takdir dengan hati yang bersih,
Melihat kekuasaan bukan sebagai kemuliaan,
Melainkan ladang ujian dan pertanggungjawaban.

Namun kini, di zaman penuh gemerlap,
Amanah dianggap pesta yang berkilap.
Sorak-sorai menggema di langit malam,
Diiringi tawa, tepuk tangan, dan dendang salam.
Lupa mereka bahwa tahta adalah bara,
Yang bisa membakar jiwa hingga tersisa debu fana.

Di mana hati yang gemetar takut,
Di mana air mata yang mengalir lembut?
Kini amanah menjadi panggung riuh,
Bukan lagi perjalanan hati yang sunyi dan teduh.

Wahai zaman yang jauh dari jejak para salaf,
Renungkan kembali arti kepemimpinan yang tak pernah genap.
Bahwa kekuasaan adalah amanah yang berat,
Bukan mahkota yang melenakan dalam hasrat.

Dengarlah ayat-ayat Ilahi yang mengetuk jiwa,
Bahwa setiap pemimpin akan ditanya,
Tentang rakyat yang lapar, tentang keadilan yang hilang,
Tentang hati yang dibiarkan hanyut dalam arus kepalsuan.

Maka jadilah seperti Abu Bakar yang takut,
Seperti Umar yang hatinya penuh sendu kalut,
Seperti Umar bin Abdul Aziz yang menangis malam,
Mengiringi takhta dengan doa yang mendalam.

Amanah bukan hiasan, bukan pula kemenangan,
Ia adalah jalan panjang menuju pertanggungjawaban.
Dan bagi yang menyadari, dunia hanyalah debu,
Sedangkan akhirat, tempat sejati segala itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun