"Keberanian dan ketegasan adalah kunci untuk menghapus mafia peradilan dari bumi pertiwi. Bersama kita bisa wujudkan peradilan yang bersih, adil, dan terpercaya."
Di tengah pusaran permasalahan bangsa, kasus-kasus yang melibatkan mafia peradilan di tubuh Mahkamah Agung menguak potret kelam dari lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Dugaan praktik suap, kecurangan, dan pengabaian fakta hukum dalam penanganan kasus tertentu mencerminkan situasi yang jauh dari prinsip keadilan yang adil dan bermartabat.
Sebagai seorang pemerhati Risk Management dan  kebijakan publik, saya merasa mendesak untuk menyerukan langkah-langkah revolusioner dalam menanggulangi permasalahan ini.
1. Menguak Luka Lama, Jejak Panjang Suap di Meja Peradilan
Kasus yang mencuat baru-baru ini melibatkan sejumlah oknum Mahkamah Agung, seperti Zarof Ricar, mantan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, yang disinyalir menerima uang tunai Rp 920 miliar dan emas batangan sebanyak 51 kilogram sebagai suap. Penangkapan ini menambah panjang daftar skandal yang telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Jika kasus ini diurai lebih jauh, terbukti bahwa jaringan mafia peradilan telah eksis sejak lama dan melibatkan banyak pejabat tinggi hingga level hakim agung. Dari pengakuan Zarof, kasus-kasus seperti ini telah menjadi praktik "bisnis" sejak 2012 hingga 2022.
Apakah kasus Zarof satu-satunya? Nyatanya tidak. Ada pula kasus Hasbi Hasan dan pendahulunya, Nurhadi, yang menjadi makelar kasus, serta para hakim agung lainnya seperti Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, yang terbukti menerima suap. Fakta ini membuktikan bahwa mafia peradilan sudah mendarah daging dalam struktur yang seharusnya menjadi tumpuan keadilan.
2. Mahkamah Agung, Benteng Keadilan yang Bobrok ?
Badan Pengawasan Mahkamah Agung, yang seharusnya bertanggung jawab melakukan pengawasan internal, terbukti tidak efektif. Meskipun secara formal hadir untuk memastikan integritas di lingkup MA, badan ini tidak pernah berhasil mengungkap kasus-kasus besar yang melibatkan oknum-oknum yang mereka awasi.Â
Faktor psikologis seperti ketakutan terhadap para hakim agung menjadi salah satu penyebab lemahnya pengawasan ini. Bahkan, Mahkamah Agung dengan gigih menolak pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial (KY), dan berhasil menggugurkan kewenangan KY lewat uji materi Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi pada 2006. Kondisi ini memperparah lemahnya kontrol dan membuka ruang yang lebar bagi terjadinya kecurangan.