"Memaafkan bukan tanda kelemahan, tetapi cerminan kekuatan batin. Dengan memaafkan, kita membangun kemuliaan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah."
Sejauh catatan sejarah kehidupan, manusia tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Baik itu dilakukan secara sadar maupun tanpa sengaja, kita pasti pernah melakukan hal yang menyakiti hati orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Namun, apa yang seharusnya menjadi sikap kita saat menghadapi kesalahan orang lain? Di sinilah peran penting memaafkan dan menjadi pemaaf sebagai langkah menuju kemuliaan hidup kita.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan setimpal. Tetapi, barang siapa memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat, maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang zalim." (QS. Asy-Syura 42: 40)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa meskipun balasan atas keburukan adalah keburukan setimpal, ada pilihan yang lebih mulia: memaafkan. Sikap pemaaf bukan sekadar tindakan yang baik, namun juga merupakan manifestasi kedewasaan spiritual yang menuntun kita menuju rahmat dan ampunan dari Allah. Ini adalah bentuk ketinggian moral yang melampaui balas dendam atau permusuhan.
Memaafkan: Jalan Menuju Pengampunan Ilahi
Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhahullah mengingatkan, "Apabila engkau ingin agar Allah mengampunimu, maka ampunilah orang-orang yang berbuat jelek kepadamu. Karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatannya." (Syarah Kitab Al Kabair, 106). Dalam kehidupan sehari-hari, sangat mudah untuk merasa marah atau kecewa ketika orang lain melukai kita. Namun, kita harus ingat bahwa balasan dari Allah adalah sesuai dengan apa yang kita perbuat. Memaafkan orang lain adalah langkah yang menunjukkan ketulusan hati, dan balasannya dari Allah adalah pengampunan yang agung.
Memaafkan bukanlah tanda kelemahan, tetapi cerminan kekuatan batin yang sejati. Ketika kita mampu memaafkan, kita sedang membangun kemuliaan dalam diri kita, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin membuatnya mulia." (HR. Muslim, no. 2588). Kemuliaan itu tidak datang dari orang lain, tetapi dari Allah, Sang Pemilik segala kemuliaan.
Menjadi Pemaaf: Mengokohkan Tawadhu
Pemaafan yang tulus harus didasari dengan sikap rendah hati (tawadhu). Dalam hadits yang sama, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menambahkan, "Tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya." Sifat tawadhu adalah lawan dari keangkuhan. Seorang yang tawadhu menyadari bahwa segala kekuasaan dan kemuliaan berasal dari Allah. Maka, dengan sikap rendah hati inilah seseorang mampu memaafkan tanpa merasa direndahkan, melainkan justru diangkat derajatnya oleh Allah.
Rendah hati bukan berarti kita menutup mata terhadap kebenaran atau membiarkan kezaliman berlalu tanpa perbaikan. Rendah hati adalah sikap menerima bahwa manusia tidak sempurna, dan kita semua adalah makhluk yang bergantung pada rahmat dan ampunan Allah. Dengan memaafkan, kita mempraktikkan ajaran tauhid, yakni keyakinan bahwa segala kebaikan, kemuliaan, dan balasan berasal dari Allah semata.