"Di negeri yang takut pada mikrofon, kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan dari siapa yang bicara paling keras, tapi dari siapa yang tetap berpikir meski dibungkam."
Di sebuah negeri antah berantah, hiduplah masyarakat yang katanya diberi kebebasan untuk berpendapat. Iya, katanya. Sebab, konon, kebebasan itu hanya bisa dirasakan sampai benang layang-layang dipegang oleh yang kuat. Kalau sudah dipegang, ya sudahlah, layang-layangmu cuma bisa berputar-putar di satu tempat. Bebas, tapi ya... terbatas.
Di negeri itu, mikrofon ternyata adalah benda paling ditakuti. Lucu, ya? Dulu, para penguasa takut pada pedang. Sekarang, yang bikin mereka deg-degan adalah mikrofon. Mungkin karena mikrofon tidak bisa dipatahkan dengan mudah, dan setiap kali ia berbicara, orang-orang mulai berpikir. Dan kita tahu, berpikir itu berbahaya! Lebih berbahaya dari pentungan, sih. Mikrofon membuat otak berputar, sedangkan pentungan... ya cuma bikin kepala benjol.
Tapi lucunya, mikrofon di negeri itu juga punya aturan tak tertulis. Katanya bebas digunakan, tapi kalau suaranya terlalu kencang, tiba-tiba ada 'admin' yang muncul bilang, "Maaf, server overload. Tolong diam sejenak." Bebas ngomong, tapi jangan ribut-ribut, ya!
Sebenarnya, kebebasan berpendapat di sana itu mirip Wi-Fi gratis. Ada di mana-mana, tapi tetap ada kuotanya. Kamu bisa browsing, bisa streaming, tapi jangan berharap bisa download file besar tanpa buffering! Iya, buffering---semacam 'tunggu sebentar, ada yang lagi ngecek omonganmu.'
Di suatu hari yang penuh angin, seorang pemimpin negeri itu duduk santai sambil ngopi. Tiba-tiba, ada ajudannya datang terburu-buru. "Pak, pak! Ini rakyat mulai ribut soal kebebasan berpendapat lagi. Mereka minta Wi-Fi tak terbatas!" Sang pemimpin hanya tersenyum. "Ah, santai saja. Katakan pada mereka, Wi-Fi kita memang tak terbatas, tapi ya... hanya di jam-jam tertentu. Kalau mereka bicara di luar jam itu, ya maaf, sinyalnya kurang bagus."
Pertemuan rahasia pun digelar. Para pemimpin negeri berkumpul untuk membahas satu teknologi mutakhir: "Bagaimana caranya mengunci mulut rakyat, tanpa harus memutus Wi-Fi mereka?" Sebuah solusi modern untuk masalah klasik. Dengan cara ini, kebebasan tetap ada, asal tahu batas.
Dan di tengah semua ini, seorang filsuf jalanan berbisik lirih sambil tersenyum, "Jika berpikir itu berbahaya, mungkin kita sudah kembali ke zaman di mana bicara saja bisa bikin kamu diasingkan ke pulau terjauh. Oh, tunggu, itu dulu atau sekarang?"
Tapi pertanyaan terbesar masih menggantung: "Kalau semua orang bisa bicara bebas, lalu bagaimana kita tahu siapa yang paling benar?" Ah, tunggu, itu sudah ditentukan, kan?
Sungguh kisah di negeri antah berantah ini begitu absurd, hingga akhirnya seorang anak muda bertanya: "Jika bicara bisa membuatmu diam, apakah ini masih bisa disebut kebebasan?" Tapi tidak ada yang menjawab. Mungkin karena semua lagi buffering.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H