"Ketika hati disentuh dengan kasih, dialog terbuka, dan kemanusiaan diberi ruang, perdamaian menjadi mungkin. Kekuatan terbesar bukan terletak pada senjata, tetapi pada kemampuan kita untuk mendengarkan, memahami, dan berempati."
Ketika krisis kemanusiaan terjadi, sering kali respons pertama yang muncul adalah reaksi berbasis kekuatan. Namun, pengalaman pembebasan sandera pilot Susi Air, Phillip Mark Mehrtens, memberikan pelajaran mendalam: hati hanya bisa disentuh dengan hati. Pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan yang digunakan dalam kasus ini mengingatkan kita bahwa, di tengah konflik yang penuh ketegangan, dialog dan empati jauh lebih ampuh dibanding kekerasan.
Pembebasan Mehrtens menjadi cerminan keberhasilan negosiasi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Tokoh-tokoh seperti mantan Bupati Nduga, Edison Gwijangge, dan sanak keluarga Egianus Kogeya, Raga Kogeya, berhasil menciptakan ruang dialog yang membawa harapan. Dalam bingkai kemanusiaan, mereka mendekati Egianus Kogeya, pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), bukan dengan intimidasi, tetapi dengan ketulusan. Usaha ini membuahkan hasil - Mehrtens dibebaskan pada 17 September 2024 di Kampung Yuguru, Papua Pegunungan, setelah melalui negosiasi panjang yang melibatkan tokoh adat dan agama setempat.
Pembelajaran dari Pendekatan Kemanusiaan
Peristiwa ini menegaskan bahwa konflik tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan. Ketika senjata menjadi alat utama, korban sipil dan pelanggaran hak asasi manusia meningkat, seperti yang terjadi di Papua. Di sisi lain, keterlibatan pranata sipil - tokoh adat, tokoh agama, dan kelompok masyarakat setempat - membawa nuansa kemanusiaan yang menyentuh hati dan mengundang kepercayaan.
Pentingnya kepercayaan ini tak bisa diabaikan. Di tengah trauma konflik yang panjang, warga Papua lebih mempercayai tokoh lokal yang memahami budaya dan sejarah mereka. Para negosiator sipil membawa sesuatu yang tidak dimiliki oleh kekuatan militer: hubungan emosional yang tulus, tanpa syak wasangka. Mereka mendekati Egianus dan TPNPB dengan niat baik, bukan untuk mendikte, tetapi untuk berdialog dalam semangat kemanusiaan.
Paradigma Keliru dalam Penyelesaian Konflik
Sayangnya, paradigma yang dianut pemerintah Indonesia sering kali berbeda. Presiden Joko Widodo, dalam pernyataannya terkait insiden ini, menyarankan bahwa kegiatan di Papua, seperti pembangunan dan pengiriman logistik, harus diawasi oleh militer dan polisi agar peristiwa penyanderaan tidak terulang. Pernyataan ini menunjukkan betapa terbatasnya pemahaman pemerintah dalam mengurai akar masalah di Papua.
Pendekatan militeristik yang hanya fokus pada keamanan justru memperdalam luka masyarakat Papua. Bukannya memperkuat kepercayaan, tindakan ini hanya memperparah konflik dan memperpanjang siklus kekerasan. Banyak warga Nduga yang harus mengungsi karena operasi militer yang dilakukan oleh TNI-Polri dalam upaya meredam milisi TPNPB-OPM. Kondisi ini menambah kemarahan dan kebencian warga Papua terhadap pemerintah pusat.
Apa yang terjadi pada Phillip Mehrtens adalah pelajaran nyata bagi kita bahwa menyelesaikan konflik tidak bisa dilakukan dengan memandang Papua hanya sebagai tempat untuk eksploitasi sumber daya alam atau pembangunan infrastruktur. Lebih dari itu, penyelesaian konflik harus menghormati kemanusiaan, budaya, dan aspirasi masyarakat setempat.