"Keikhlasan adalah cahaya yang menerangi jalan menuju ridha Allah. Tanpa ikhlas, amal sehebat apapun hanya akan menjadi bayang-bayang yang kosong dari berkah-Nya."
Sesungguhnya, hidup adalah perjalanan yang tak panjang. Hanya saja, dalam perjalanan hidup manusia, setiap langkah yang diambil memiliki tujuan yang beragam. Ada yang bergerak dengan tujuan duniawi semata, ada pula yang melangkah demi menggapai akhirat. Namun, sesungguhnya, setiap amal yang dilakukan hanya akan bernilai di sisi Allah jika dilandasi dengan keikhlasan yang murni. Ikhlas adalah ruh dari segala ibadah, fondasi yang menopang amal shalih, serta kunci dari penyucian jiwa, atau tazkiyatun nafs.
Allah subhanahu wa ta'ala telah menegaskan pentingnya tazkiyatun nafs dalam firman-Nya:
"Maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kejahatan dan ketakwaannya" (QS. Asy-Syams 91: 8)
Ayat ini menggambarkan bahwa setiap jiwa memiliki potensi untuk terjerumus ke dalam kefasikan atau justru memilih jalan takwa. Tazkiyatun nafs adalah upaya yang terus menerus dilakukan untuk membersihkan jiwa dari berbagai kotoran duniawi dan mendekatkannya pada ketakwaan.
Hakikat Ikhlas
Ikhlas adalah membersihkan niat dari segala motif selain Allah. Ketika seorang hamba menjalankan ibadah, baik itu shalat, sedekah, atau bahkan amal sekecil senyuman, ia dituntut untuk melakukannya hanya demi ridha Allah. Seperti yang disebutkan dalam Al-Quran:
"Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas mentaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus" (QS. Al-Bayyinah 98: 5)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa ibadah yang diterima di sisi Allah adalah yang dilakukan dengan niat yang tulus, tanpa ada campur tangan riya' atau kepentingan lain. Ikhlas, dengan demikian, menjadi prasyarat diterimanya amal shalih. Tanpa ikhlas, amal sehebat apapun, setinggi gunung atau seluas samudera, akan menjadi sia-sia di hadapan Allah.
Ikhlas Sebagai Penjaga Hati
Rasulullah diutus tidak hanya untuk mengajarkan ayat-ayat Allah, tetapi juga untuk menyucikan jiwa manusia dari noda-noda yang menghalangi mereka memasuki surga. Dalam doa Nabi Ibrahim, ia memohon agar umat manusia diberikan Rasul yang tidak hanya membacakan ayat-ayat Allah, tetapi juga menyucikan jiwa mereka:
"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri. Rasul yang membacakan ayat-ayat-Mu, mengajarkan Kitab dan Hikmah, serta mensucikan mereka. Sungguh, Engkau Mahaperkasa, Mahabijaksana" (QS. Al Baqarah 2: 129)
Tazkiyatun nafs, penyucian jiwa, memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan seorang hamba. Dengan jiwa yang suci, hati seorang mukmin akan bersih dan murni, sehingga hanya berharap kepada ridha Allah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman tentang pentingnya hati yang bersih di akhirat kelak:
"Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati bersih" (QS. Asy-Syuara 26: 89)
Hati yang bersih adalah hati yang dipenuhi oleh keikhlasan, jauh dari kebencian, kedengkian, atau ambisi duniawi. Ikhlas menjaga hati dari segala penyakit ruhani yang merusak, seperti riya', ujub, dan takabbur. Rasulullah pun bersabda bahwa ada tiga perkara yang menjadikan hati seorang mukmin tetap teguh:
"Ada tiga perkara yang menjadikan hati seorang mukmin tidak menjadi seorang pengkhianat, yaitu: ikhlas beramal karena Allah, memberikan nasihat yang baik kepada pemimpin kaum muslimin, dan senantiasa komitmen kepada jama'ah kaum Muslimin." (HR Bazzar)
Hadis ini menunjukkan bahwa ikhlas bukan hanya tentang niat dalam ibadah, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk interaksi sosial dan tanggung jawab terhadap sesama.
Tantangan dalam Meraih Keikhlasan
Ikhlas bukanlah hal yang mudah dicapai. Setiap hamba pasti diuji dengan berbagai cobaan yang menggoda keikhlasan. Seringkali, tanpa disadari, riya' menyusup dalam amal ibadah, membuat seseorang berharap pujian atau pengakuan dari manusia. Inilah sebabnya mengapa tazkiyatun nafs harus dilakukan secara konsisten dan terus menerus, agar hati senantiasa bersih dan terhindar dari godaan dunia.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: "Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya." (Asy-Syams 91: 9)
Beruntunglah mereka yang berhasil menjaga hati mereka tetap ikhlas, yang beramal hanya untuk Allah, dan menjauhi segala bentuk kepura-puraan. Mereka inilah yang akan meraih kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Cara Memupuk Keikhlasan
Untuk meraih keikhlasan, seorang hamba harus senantiasa memperbaiki niatnya sebelum, selama, dan setelah melakukan amal. Beberapa langkah yang dapat diambil dalam memupuk ikhlas antara lain:
1. Memperbanyak doa. Memohon kepada allah agar diberi hati yang ikhlas. Doa adalah senjata seorang mukmin dalam menghadapi berbagai cobaan, termasuk cobaan keikhlasan.
2. Menghindari riya'. Beramal secara tersembunyi, tanpa mengharapkan pujian dari orang lain, merupakan salah satu cara menjaga keikhlasan.
3. Mengingat akhirat. Menyadari bahwa hanya allah yang akan memberi balasan atas segala amal kita, membuat kita terhindar dari keinginan untuk mencari penghargaan duniawi.
4. Bergaul dengan orang-orang shalih. Lingkungan yang baik akan membantu kita menjaga niat tetap lurus dan ikhlas.
Kesimpulan
Ikhlas adalah inti dari setiap ibadah dan amal. Tanpanya, semua usaha kita menjadi sia-sia di hadapan Allah. Oleh karena itu, setiap mukmin harus senantiasa belajar dan berjuang untuk mencapai keikhlasan dalam segala amal. Dengan hati yang ikhlas, jiwa akan menjadi tenang, amal akan diterima, dan kehidupan akan dipenuhi dengan ketenangan dan keberkahan.
Semoga Allah subhanahu wa ta'ala memudahkan kita semua untuk menjadi hamba yang ikhlas dalam setiap langkah dan tindakan kita, sehingga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang berhasil menyucikan jiwa dan meraih ridha-Nya. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H